Minggu, 26 September 2010

Semangat Tadarus

Semangat Tadarus

By: agussyafii

Malam ini di Rumah Amalia sehabis sholat tarawih kami bertadarus. Tadarus merupakan kegiatan yang membawa keteduhan hati. Nampak anak-anak Amalia dengan senyum khasnya. Atun, Lusi, Mitha, Riska, Dwi, Ratih, Eko, Biyan dan anak-anak Amalia lainnya sudah siap dengan al-Qur'annya. Lantunan ayat suci al-Quran dibaca silih berganti. Itulah yang membuat kami menjadi terasa bahagia.

Sekarang ini jarang sekali menjumpai orang-orang bertadarus. Jika ada yang bertadarus hanyalah orang tua. Anak-anak muda agak sulit saya jumpai bertadarus. Mungkin kondisi sekarang memang sedikit berbeda. Zaman telah berubah. Terkadang membuat hati menjadi miris. Bila membaca al-quran sudah tidak lagi diminati oleh anak-anak muda. Tadarus diwaktu saya masih sekolah Tsanawiyah suka sekali mengaji dimasjid bersama-sama teman-teman. Kami berkelompok membaca al-quran, terkadang sampai pagi, sehabis sholat subuh kami melanjutkannya dengan berdiskusi menelaah setiap ayat yang kami baca. Kebiasan untuk bertadarus menjadikan keindahan tersendiri. Apa lagi sejak keberadaan Hana tadarus sebelum tidur tidak bisa kami tinggalkan.

Di Rumah Amalia, kami membiasakan anak-anak Amalia agar menghapal Juz Amma' surat-surat pendek. Kami membaca bersama-sama. Membiasakan anak-anak membaca al-quran sebagai upaya agar sedini mungkin anak-anak mencintai al-quran, membaca ayat-ayat suci sekaligus menggali maknanya. Untuk menumbuhkan rasa kecintaan terhadap al-quran tidak bisa sendirian, haruslah terbangun kondisi yang dilakukan secara terus menerus agar terbentuk pembiasaan yang menyenangkan. Sebab tadarus selain dimaknai dengan membaca al-quran namun juga mengkaji dan menelaah.

Maka alangkah indahnya bila semangat tadarus adalah semangat menjadikan al-quran sebagai bacaan kita setiap muslim melalui gerak hati dengan nafasnya dalam setiap langkah kegiatan kita dalam kehidupan sehari-hari untuk senantiasa menyebarkan cinta dan kasih sayang bagi sesama.

Wassalam,
Agussyafii
By: agussyafii

Ada seorang teman dalam kehidupan yang mapan, pekerjaan, rumah, kendaraan pribadi ada namun dalam kesendirian hatinya menjadi terusik, ketika orang tua bertanya 'kapan hendak menikah?' Dalam kehidupan masyarakat di desa ataupun dikota kehidupan berkeluarga mendapatkan tempat yang istimewa. Seseorang yang dianggap sudah dewasa dan akan dianggap menjadi insan seutuhnya jika sudah 'mentas' . Mentas artinya 'sudah berkeluarga.' mendapatkan pasangan hidup, menikah dan punya anak.

Orang tua yang mempunyai anak belum menikah meski sudah berpenghasilan sendiri merasa belum hidup bahagia dan belum rela mati meninggalkan anak-anaknya yang belum berkeluarga. Keluarga merasa malu jika ada anggota keluarga yang tidak menikah. Begitu juga jika dalam perkawinan anak-anaknya terjadi perceraian atau perpisahan mereka merasa malu dengan tetangga ataupun sanak famili.

Anggapan masyarakat pada umumnya bahwa setiap orang harus menjadi bagian dari satu pasangan agar menjadi bahagia. Apabila ada salah seorang anak dalam keluarga menikah dengan seseorang yang terpandang, kaya raya, terpelajar, keturunan darah biru, dengan berbagai kelebihannya maka harga diri dan harkat martabat keluarga menjadi terangkat namun sebaliknya jika anak dalam keluarga menikah dengan orang yang dianggap rendah maka keluarga itu merasa dipermalukan dan jatuh. Dengan segala upaya orang tua ataupun pihak keluarga akan menghalangi atau menolak karena perkawinan itu dianggap tidak seimbang atau sekelas.

Demikian pula banyak yang merasa belum menjadi insan seutuhnya tanpa adanya partner ataupun pasangan hidup. Bahkan mereka menjadi insan yang gagal apabila tidak mendapatkan jodoh atau perkawinan tidak berjalan sebagaimana semestinya. Pandangan ini tentu saja tidaklah sepenuhnya benar. Dalam masyarakat modern dimana kesibukan begitu menyita waktu kita, bahkan seorang perempuan yang bekerja dan berpenghasilan sendiri tanpa seorang partner merupakan pemandangan yang biasa. Namun disisi lain pandangan umum masyarakat kita dari dulu hingga sekarang, masih memandang dan mengharapkan perkawinan atau hidup berpasangan sebagai kehidupan yang paling sempurna dan kegagalan ataupun kesendirian dianggap 'aib' yang harus dijauhi.

Bila kita mengalami hal itu, masih dalam kesendirian atau mengalami kegagalan dalam perkawinan tidak usah terlalu risau dan juga bukanlah aib yang harus dijauhi. Yang paling penting dekatkanlah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan penyerahan hati secara total maka membuat hati anda menjadi lebih tenang, Allah tidak akan membiarkan anda berjalan sendirian dalam kesepian.

'Apa yang disisimu akan lenyap dan apa yang disisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.' (QS. an Nahl : 96).

Wassalam,
agussyafii

Lomba cerpen anak nusantara

logo-alang.gif

Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional
Rabu, 21 Juli 2010 02:57 Puspa Swara
E-mail Print PDF

Apakah kamu berusia 8 – 14 tahun?
Kalau ya, ini saatnya kamu membuktikan diri sebagai penulis anak!
Yuk, ikuti Lomba Menulis Cerpen
“Petualangan Anak Nusantara” Tingkat Nasional!

Tema Cerita:
Petualangan anak dalam persahabatannya dengan alam, cinta pada budaya, santun pada orang tua dan teman,
serta taat kepada Tuhan.

Waktu:
23 Juli 2010 s.d. 17 September 2010

Hadiah:
Trofi, sertifikat, uang tunai, dan hadiah dari sponsor
Juara I Rp1.000.000, 00
Juara II Rp800.000,00
Juara III Rp600.000,00
Juara Harapan Rp500.000,00 (2 pemenang)
Juara Favorit Rp500.000,00
Karya pemenang & karya pilihan akan diterbitkan oleh Puspa Populer.

Syarat & Ketentuan:

* Cerita asli buatan sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
* Tidak bermuatan SARA dan mengandung unsur pornografi.
* Naskah diketik rapi, panjang cerita 5-10 halaman, spasi 1,5, ukuran font 12 pt, ukuran kertas A4.
* Naskah cerita dikirim dalam bentuk print out & dilampirkan dalam CD beserta biodata lengkap penulis dan pernyataan naskah asli belum pernah dipublikasikan yang ditandatangani.
* Naskah dikirim paling lambat Selasa, tanggal 17 September 2010 cap pos ke:

Redaksi Puspa Populer Grup Puspa Swara
Alamat: Wisma Hijau, Jl. Mekarsari Raya No. 15 Cimanggis Depok 16452
Tel. (021) 8729060, (021) 8721094,
Kontak personal: Kak Adnan, Kak Tami, & Kak Bayu.

* Pemenang akan diumumkan di situs www.puspa-swara. com dan di stand Puspa Swara, di Indonesia Book Fair, Istora Senayan Jakarta, tanggal 9 Oktober 2010.
* Naskah pemenang & pilihan dewan juri akan diterbitkan dalam bentuk buku. Naskah yang diterbitkan menjadi milik penerbit.
* Naskah pilihan dewan Juri, selain pemenang, yang diterbitkan akan mendapatkan honor dari penerbit.
* Semua naskah yang masuk tidak akan dikembalikan.
* Pemenang akan mendapatkan hadiah uang, tropi, dan sertifikat serta hadiah dari sponsor.
* Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

Nasihat Sejuk asy-Syaikh al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa nasehat Syaikh
sehubungan dengan para pemuda yang multazim dalam berhadapan dengan
sesamanya dan dalam menghadapi fenomena saling berlepas diri antar
mereka? Bagaimana pula pandangan Syaikh tentang banyaknya jama'ah saat
ini? Apakah Syaikh menyarankan saya untuk bergabung dengan jama'ah
tabligh dan khuruj (keluar untuk dakwah) bersama mereka?

Jawaban
Fenomena yang dialami oleh para pemuda multazim, yaitu perpecahan dan
saling menganggap sesat serta menimpakan rasa permusuhan terhadap orang
yang tidak sejalan dengan manhaj mereka, tidak diragukan lagi, bahwa ini
sangat disesalkan dan disayangkan. Bisa jadi hal ini menyebabkan
hantaman yang besar. Perpecahan semacam ini merupakan dambaan para setan
dari golongan jin dan manusia, karena setan-setan manusia dan jin tidak
menyukai para ahli kebaikan bersatu padu, mereka menginginkan
perpecahan, karena mereka tahu persis bahwa perpecahan itu akan
menghilangkan kekuatan yang hanya bisa dicapai dengan iltizam dan
ittijah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini ditunjukkan oleh
ayat-ayat berikut:

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu"[Al-Anfal : 46].

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." [Ali
Imran: 105]

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka." [Al-An'am : 159]

"Artinya : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya" [Asy-Syura : 13]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kita bercerai berai dan
menjelaskan akibatnya yang mengerikan. Dan yang wajib bagi kita adalah
menjadi satu umat dan satu kalimat. Sebab, perpecahan berarti merusak
dan memecah kekuatan serta melahirkan kelemahan umat.

Adalah para sahabat radhiyallahu a'nhum, walaupun terjadi
perselisihan antar mereka, tapi tidak sampai terjadi perpecahan dan
permusuhan. Perselisihan antar para sahabat memang pernah terjadi,
bahkan ketika Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup.
Tatkala Nabi kembali dari peperangan, Jibril mendatanginya dan
menyuruhnya ke Bani Quraizhah karena mereka melanggar kesepakatan, lalu
Nabi Shalalllahu `alaihi wa sallam berpesan kepada para sahabat yang
diutusnya,

"Tidak seorang pun yang shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah."

Para sahabat utusan pun segera bertolak dari Madinah menuju Bani
Quraizah, ketika tiba waktu shalat Ashar, sebagian mereka mengatakan,
"Kita tidak boleh shalat (Ashar) kecuali di tempat Bani Quraizhah
walaupun matahari telah terbenam, karena tadi Nabi Saw berpesan, "Tidak
seorang pun yang shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizah."[1] Lalu
kita katakan, "Kami mendengar dan kami patuhi."

Sementara itu, ada pula di antara mereka yang mengatakan, bahwa
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menginginkan agar kita
bersegera dan cepat-cepat berangkat, beliau tidak menginginkan kita
menunda shalat."

Berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, namun
beliau tidak memarahi dan tidak mencela seorang pun di antara mereka
karena pemahamannya, dan mereka sendiri tidak berpecah belah karena
perbedaan dalam memahami pesan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa
sallam tersebut. Dari itu, hendaknya kita tidak berpecah belah tapi
tetap menjadi satu umat. Jika dikatakan, "Ini dari golongan salaf, ini
dari golongan ikhwan, ini dari golongan tabligh, ini dari golongan
sunni, ini dari golongan pengekor, ini dari anu, ini dari anu, ini dari
anu." Kita akan berpecah belah dan ini bahayanya sangat besar. Yang kita
harapkan, bahwa pergerakan Islam ini adalah saling mendukung jika memang
pergerakan ini telah melahirkan berbagai kelompok yang terpecah-pecah,
saling menganggap sesat dan saling menganggap bodoh.

Untuk memecahkan problema ini hendaknya kita menempuh cara yang ditempuh
oleh para sahabat radhiyallahu `anhum dan memahami bahwa perbedaan
ini terlahir dari ijtihad dalam masalah yang menuntut ijtihad, dan
mengetahui bahwa perbedaan ini tidak menimbulkan pengaruh karena pada
hakikatnya tetap sepakat.

Bagaimana itu? Saya berbeda dengan anda dalam suatu masalah karena
konsekuensi dalil saya berbeda dengan yang anda utarakan. Anda berbeda
pendapat dengan saya dalam masalah anu, karena konsekuensi dalil anda
berbeda dengan yang saya utarakan.

Saya tetap menghormati dan memuji anda karena anda berani berbeda dengan
saya, namun saya tetap saudara dan teman anda, karena perbedaan ini
merupakan konsekuensi dalil anda, maka kewajiban saya adalah tidak
merasa bermasalah dengan anda, bahkan saya memuji anda karena pendapat
itu, dan anda pun demikian.

Jika kita mengharuskan salah seorang kita untuk menerima pendapat yang
lain, maka pemaksaan saya terhadapnya untuk menerima pendapat saya tidak
lebih baik daripada pemaksaannya terhadap saya untuk menerima
pendapatnya. Karena itu saya katakan, kita harus menjadikan perbedaan
yang bertolak dari ijtihad ini sebagai kesepakatan, bukan perselisihan
sehingga menjadi satu kalimat dan mencapai kebaikan.

Jika ada yang mengatakan, Terapi ini tidak mudah diterapkan pada orang
awam, bagaimana solusinya?

Solusinya: Pertemukan para pemimpin dan para tokoh dari setiap kelompok
untuk mengkaji dan membahas inti perbedaan sampai kita bisa bersatu dan
berpadu.

Pada suatu tahun, pernah diadukan suatu masalah di Mina -kepada saya dan
beberapa ikhwan- mungkin ini terdengar aneh oleh kalian. Saat itu, ada
dua kelompok, masing-masing terdiri dari tiga atau empat laki-laki,
masing-masing menuduh kafir dan melaknat yang lainnya, padahal mereka
para haji dan pentolan-pentolannya. Salah satu kelompok mengatakan,
bahwa kelompok lainnya itu melaksanakan shalat dengan menempatkan tangan
kanan di atas tangan kiri di atas dada, ini pengingkaran terhadap
As-Sunnah, karena sesuai As-Sunnah, menurut kelompok ini, adalah
mengulurkan (membiarkan) tangan pada paha. Sementara kelompok satunya
mengatakan, bahwa mengulurkan tangan pada paha dan tidak menumpukkan
tangan kanan di atas tangan kiri adalah kufur dan pantas dilaknat.
Perselisihan mereka cukup keras. Tapi dengan fadhilah Allah, lalu usaha
ikhwan-ikhwan dengan menjelaskan persatuan yang seharusnya diemban oleh
umat Islam, mereka akhirnya menerima dan masing-masing rela terhadap
yang lainnya.

Lihatlah bagaimana setan mempermainkan mereka dalam masalah khilafiyah
tersebut hingga mencapai tingkat saling mengkafirkan. Padahal itu salah
satu sunnah, bukan rukun Islam, bukan fardhu dan bukan kewajiban.
Intinya, sebagian ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri di atas dada adalah sunnah, sementara yang lain
mengatakan bahwa yang sunnah adalah mengulurkan tangan (membiarkannya
dan tidak sedakep). Sementara yang benar, yang ditunjukkan oleh
As-Sunnah adalah memposisikan tangan kanan di atas lengan kiri,
sebagaimana dikatakan oleh Sahl bin Sa'd yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari, "Orang-orang diperintahkan untuk memposisikan tangan kanan
pada lengan kirinya ketika shalat."[2]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahi saudara-saudara kita
yang memiliki acuan dan metode dalam sarana dakwah, persatuan, kecintaan
dan kelapangan dada. Jika niatnya baik tentu akan mudah mengobatinya,
tapi jika niatnya tidak baik, masing-masing bangga dengan pendapatnya
dan tidak mengakui yang lainnya, keberhasilannya akan jauh.

Catatan: Jika perbedaan itu dalam masalah aqidah, maka itu harus
diluruskan. Jika bertentangan dengan manhaj para pendahulu umat, maka
itu harus diingkari dan mengingatkan orang yang menganut paham yang
bertentangan dengan paham para pendahulu umat ini.

Adapun mengenai jama'ah Tabligh, menurut hemat saya, mereka adalah suatu
kelompok yang dengan itu Allah memberikan manfaat yang besar. Berapa
banyak orang durhaka yang ditunjuki Allah melalui tangan mereka, dan
berapa banyak orang kafir yang memeluk Islam di tangan mereka.
Pengaruhnya, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Tapi, tidak
diragukan lagi, bahwa mereka itu masih belum banyak tahu, mereka
membutuhkan para penuntut ilmu untuk menyertai mereka dan menjelaskan
kepada mereka tentang hal-hal yang biasa mereka lakukan dan mereka kira
bahwa itu tidak apa-apa dan bermanfaat, padahal sebenarnya perlu
diluruskan. Misalnya, mengharuskan sebagian mereka untuk khuruj selama
tiga hari, empat hari, empat puluh hari, enam bulan dan sebagainya,
kemudian mengatakan, "Kami melakukan ini sebagai sarana, bukan tujuan.
Yakni, kami tidak berkeyakinan bahwa hal ini disyari'atkan atau
merupakan ibadah kepada Allah, tapi kami berkeyakinan bahwa ketentuan
ini untuk meneguhkan dan mengeksiskan." Yaitu dengan turut serta
berdakwah, melaksanakan dan berpindah-pindah dan sebagainya.

Menurut saya, mereka itu baik, banyak memberikan manfaat dan kebaikan.
Hanya saja, mereka masih kurang ilmu sehingga membutuhkan para penuntut
ilmu untuk menjelaskan kepada mereka.

Catatan saya tentang mereka, bahwa sebagian mereka saya tidak mengatakan
mereka semua jika anda ikut berdiskusi dengan mereka dalam masalah ilmu,
ia tidak senang, tidak suka berdebat atau mendalami ilmu. Jelas ini
suatu kesalahan, karena seharusnya manusia itu lebih-lebih para pemuda-
antusias terhadap ilmu dan mengkajinya, tapi dengan cara yang tenang dan
mencari kebenaran, bukan dengan perdebatan, kekerasan atau kakasaran
sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Saya berharap jama'ah ini
bisa berhubungan dengan yang lainnya dan bersatu pada kalimat yang sama.
Yang ini belajar ilmu dari yang itu, sementara yang itu belajar akhlak
dan adab dari yang ini. Wallahu a 'lam.

[Fatawa aq`diyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 778-783]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Khauf (946) Muslim dalam Al-Jihad (1770).
Namun dalam lafazh Muslim kalimat disebutkan "Zhuhr" bukan
"Ashr".
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adzan (740).