Masih terlalu pagi untuk keluar, begitulah kata dr.Irvan dalam hatinya. Di rumahnya yang cukup mewah ia masih belum merasakan kehadiran orang yang selama ini memberinya seorang keturunan. Mungkin karena ia terlalu sibuk dengan sekolahnya, sampai lupa untuk menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis. Meskipun begitu, ternyata ia disegani oleh perawat-perawat yang ada di rumah sakit tempat ia bekerja, terlebih dr.Gina yang ternyata selama ini menaruh hati padanya.
Ia hanya hidup sebatang kara, meskipun ditemani oleh tiga orang pembantu. Mang Ujang, Bi Inah, juga Bi Tari. Ketiganya begitu senang memiliki seorang majikan yang luar biasa baiknya, apalagi anak Bi Inah disekolahkannya.
Dr.Irvan sering menyempatkan dirinya berolahraga disekitar halaman pada pagi hari, ditemani Mang Ujang yang selalu menyiram taman.
“Mang Ujang…,”
“Ya, Pak… ada yang bisa saya Bantu?”
“Bilang sama Bi Tari, supaya buat kopi, nanti taruh saja di meja teras!”
Mang Ujang langsung bergegas, sementara Irvan masih berlari kecil. “Tin…!!!” Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar, Bi Inah langsung membukakan pintu.
“Eh, ibu dokter…”
“Irvan ada Bi…?”
“Oh, ya ada! Mari masuk Bu,”
Gina langsung masuk kedalam mobilnya dan memarkirkan di dalam,
“Tumben kamu datang pagi-pagi, Gin?” suara Irvan tiba-tiba datang dari kaca jendela mobilnya. Gina langsung keluar,
“Nggak kok, Van… aku cuma iseng!”
“Udah sarapan?”
“Belum sih, biasanya juga aku sarapan di rumah sakit.”
Irvan mengajaknya masuk, mereka berdua ngobrol kecil di ruang tamu.Bi Tari menghidangi mereka kopi hangat. Gina tampak memperhatikan Irvan, ia pura-pura tidak menghiraukannya.
“Oh ya Van…, kamu ntar sibuk nggak?”
“Mmm, kayaknya nggak deh… soalnya kemarin aku baru saja melakukan operasi jantung. Memang kenapa kamu nanya gitu?”
“Ya kalau memang kamu nggak terlalu sibuk, aku mau ngajak kamu makan siang bareng…”
Irvan memenuhi ajakannya, mereka berdua kembali melanjutkan minum kopinya. Irvan adalah salah seorang dokter yang selalu berhasil dalam setiap operasi yang dilakukannya, namun tetap ia tidak menyombongkan keahliannya itu. Baginya, hanya Allah yang membuatnya demikian. Irvan hanya menjalani takdir yang ia terima sebagai dokter.
Lain halnya dengan Gina, ia memang tidak terlibat dalam setiap operasi karena ia dokter spesialis kandungan.meskipun ada pasien yang karena sesuatu hal diharuskan melakukan operasi “sesar”, ia menolak untuk melakukannya. Padahal rekannya yang sama-sama merupakan dokter ahli kandungan, selalu menginginkannya membantu. Bagi Gina ini merupakan sebuah trauma yang mendalam. Ia dilahirkan secara “sesar”, dan ibunya langsung meninggal ketika melahirkannya sebagai anak yang kedua.
“Gin, jangan melamun…!”
Gina langsung bangkit dari lamunan, tepukan Irvan pada bahunya membuat ia tercengang. “Jadi…?” Irvan langsung bertanya mengenai ajakan Gina tadi pagi.
“Jadi kok, yuk!”
Gina mengajaknya ke sebuah restoran tempat biasanya makan siang, cukup jauh dari Rumah Sakit. Irvan masih mendapatinya melamun,
“Hei… kalau makan jangan melamun gitu dong,”
“Nggak kok Van…,”
Gina berpura-pura makan sambil mengalihkan perhatian, Irvan mulai curiga dengannya. Cukup lama mereka berdua berada disana, Gina masih tampak agak melamun dan Irvan semakin yakin ada sesuatu yang mengganjal pikiran rekannya.
Hal berbeda malah Irvan dapati ketika mereka berdua kembali ke Rumah Sakit, Gina langsung fokus pada pekerjaannya. Ia mulai lega dengan kembalinya sikap Gina. Tiba-tiba dr.Tata menghampiri Gina, ia mengatakan bahwa ada pasien yang hendak melahirkan.
“Gin… please kamu bantu dr. Tata sekarang,” pinta Irvan.
“Iya dr. Gina, kami sangat mengharapkan bantuan Anda…”
“Dokter!” Suara panggilan suster langsung menghentak mereka,
“Gin…,” pinta Irvan sekali lagi.
Sambil menghela nafas, Gina langsung bangkit dari kursinya. “Cepat…!!” katanya pada dr. Tata. Mereka berdua langsung bergegas ke ruang operasi. Irvan langsung lega, ia mengikuti langkah mereka perlahan sementara Gina, dr. Tata dan beberapa orang suster langsung bergegas sambil membawa peralatan bersalin.
Suara jerit tangis bayi terdengar begitu kerasnya, keluarga yang menunggu kelahiran tersebut langsung bangkit gembira. Gina keluar dengan tersenyum,
“Gimana dok…?” tanya suami dari istri tadi.
“Anda suaminya ?Mmm… bayi dan istri Anda selamat. Silahkan lihat keadaan bayi laki-laki Anda,”
Irvan yang sejak tadi ikut duduk menunggu bersama keluarga pasien akhirnya bisa tersenyum bahagia, Gina sudah melakukan tugasnya dengan baik. Ia kembali ke ruang kerjanya. Gina masih bersama rekannya, dr. Tata. Keluarga itu sangat gembira dengan anggota baru mereka.
Suara handphone dari dalam sakunya memanggil, ia langsung membaca sms tak dikenal. Hanya dua belas nomor tercantum,
+628528937564
Mas Irvan, masih ingat aku nda…? Ini Endan, mantan teman SMP kamu lho… gimana kabarnya?
Ia tersenyum kecil,ia kembali mengetik sesuatu untuk membalas pesan dari teman lamanya.
Alhamdulillah Dan… aku baik, oh ya gimana kamu sekarang… udah kerja dimana nih?
+628528937564
Aku buka bengkel di Jalan Supratman… kapan-kapan kita ngobrol ya, bisa kan? sekalian ajak pacar or kamu udah punya istri…
OK… next time.
Ia sedikit tertawa dengan pertanyaan temannya, matanya tertuju pada tumpukan berkas yang berada diatas mejanya. Laporan untuk rapat besok pagi, beberapa operasi yang sudah dilakukan berikut keberhasilan, kendala, serta kegagalan atas kehendak-Nya.
“Eh, kamu Gin…” Irvan cukup kaget mendapatinya berada dibalik pintu yang baru saja ia buka. Gina mengajaknya pulang bareng,
“Gimana ya, aku…”
“Ya udah nggak pa-pa,”
“Sorry ya…?!”
Gina tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya menuju tempat parkir. Irvan masih berdiri disana,ia kembali masuk ruangannya mengambil tas yang tertinggal.
“Dokter Irvan!”
Suara panggilan itu menghentikan langkahnya. “Oh, dokter Rendi… ada yang bisa saya bantu?”
“Aku cuma nitip pesan buat Pak Tema, aku… nggak bisa ikut rapat besok pagi. Ibuku meninggal tadi pagi…,”
“Innalillahi wainnailihi raji’un…, yang tabah ya Di.” Ia menepuk bahu rekannya.
“Mmm, aku permisi dulu…”
dr. Rendi berjalan perlahan, Irvan masih juga berdiri disana. Perlahan ia berjalan menuju lift, sudah jam dua siang dan ia harus segera pulang.
Perlahan ia mengemudikan mobilnya, menyusuri Jalan Supratman yang mulai padat. Sesekali ia mendapati pedagang asongan menjajakan dagangan dibalik jendela mobilnya.
“Mas… minumnya satu!” pinta Irvan pada salah seorang pedagang asongan.
“Ini Pak…,”
Irvan langsung mengeluarkan uang dari dompetnya, “kembaliaanya ambil aja…!”
“Terima kasih,” balas pedagang asongan itu ragu, tidak menyangka uang lima puluh ribu rupiah berada ditangannya.
Irvan merasa ada hal lain dalam dirinya kini, mungkin saatnya memiliki seorang kekasih yang bisa membagi waktu dan perasaan dengannya. ‘Tapi… siapa ?’ Irvan bertanya-tanya pada dirinya, dengan penuh seksama, mengingat semua yang ia lakukan semasa sekolah. Tanpa kehadiran seorang pacar, padahal waktu SMU ia disukai oleh dua orang perempuan.
“Ckittt…!!!”
Irvan mengerem dengan cepat, beruntung ia masih mampu mengendalikan kendaraan yang dilajukannya. Cepat ia turun melihat yang ia sendiri tidak sadari telah dilakukannya. Beberapa orang warga berlari melihat kejadian tersebut,
“Maaf… mbak nggak kenapa-napa…?” kata Irvan sambil membantu seorang perempuan yang hampir saja ia celakakan.
“Nggg… Nggak kok… nggak pa-pa,” tutur perempuan itu sambil sedikit tersenyum.
“Aku antar ke rumah sakit…,”
Irvan langsung meminta beberapa warga yang datang membantunya membawa perempuan tadi ke dalam mobilnya,
“Dokter Irvan kok nggak hati-hati sih…?” kata salah seorang warga yang kebetulan mengenalnya.
“Justru itu… aku sendiri nggak tahu kalau perempuan tadi mau menyeberang jalan,”
Irvan langsung kembali memutar balik, kembali ke rumah sakit. Sebelumnya ia menelpon rumah, mengatakan kalau ia pulang agak terlambat. Cukup cepat ia mengemudikan mobilnya, dua orang warga yang ikut bersamanya mencoba untuk memberikan P3K. Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja. Ia meminta beberapa orang suster untuk merawat perempuan tadi, ia bersama dua orang warga yang kebetulan ikut duduk untuk menunggu perempuan tadi yang sedang menerima perawatan medis. dr. Yanto kali ini yang memeriksa kondisi pasien, ada beberapa luka di bagian kepala dan juga lengan kanan korban, hanya saja masih dalam taraf sedang dan tidak cukup parah.
“dokter Irvan…,”
“Bagaimana keadaan perempuan yang di dalam dokter…??”
“Alhamdulillah baik-baik saja dokter Irvan, tapi… kenapa dokter kembali lai kesini? Bukannya jadwal dokter Irvan hari ini sudah selesai??”
“Ada kecelakaan kecil dokter, makanya aku kembali lagi kesini…”
“Jadi… pasien yang di dalam??”
“Ya, dokter Yanto…”
Dokter Yanto paham maksud yang dokter Irvan katakan, ia hanya mengatakan bahwa kondisi pasien di dalam cukup baik dan tidak ada luka yang cukup serius. Dokter Irvan dan dua warga itu langsung masuk ke dalam untuk melihat keadaan perempuan tadi.
“Gimana keadaaan sekarang mbak…?” Tanya dokter Irvan.
“Udah mendingan kok dokter, aku nggak apa-apa…,” perempuan itu memberikan senyuman kecil. Ia bahkan meminta untuk dapat pulang ke rumahnya karena sedang ditunggu oleh anggota keluarga yang lain. Mereka bedua akhirnya berkenalan, perempuan itu bernama Suci, seorang penjaga sebuah toko swalayan yang kebetulan berada dekat dengan rumah dokter Irvan, sekitar 100 meter dari rumahnya.
Setelah meminta izin dari dokter Yanto mereka berempat kembali beranjak dari rumah sakit. Dokter Irvan terlebih dahulu mengantarkan dua warga yang mengikutinya,
“Terima kasih bapak-bapak sudah membantuku…,”
“Sama-sama pak dokter, tapi lain kali hati-hati ya…” potong salah seorang warga.
Setelah memberikan senyuman mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Irvan perlahan mengemudikan mobilnya, hanya beberapa menit setelah mengantarkan kedua warga tadi, ia akhirnya sampai tepat di depan rumah Suci.
“Terima kasih dokter sudah mengantarkan saya sampai rumah…,”
Dokter Irvan terdiam sejenak, ia memperhatikan seluruh bagian rumah yang rasanya tak asing. Mengingatkannya akan suatu hal, semakin jauh ia menuju dimensi masa lalu yang membuatnya sangat tertekan. Rumah ini menyimpan sebuah kenangan yang tak pernah ia lupakan.
“Dokter…?”
“Astaghfirullahaladzim… !!!”
Irvan akhirnya tergugah dari lamunannya, ia memandang wajah Suci sejenak, tampak adanya beberapa bekas luka di bagian leher, seperti luka bakar.
“Aku… sepertinya ingat dengan rumah ini, seperti keadaan sepuluh tahun yang lalu…,”
Suci mulai menitikkan air mata, sepertinya ia sangat paham maksud yang Irvan katakan. Ia mencoba untuk menahan segala perasaan yang ada, sebuah perubahan yang tidak pernah irvan sadari bahwa perempuan yang berada di hadapannya adalah ingatan sepuluh tahun yang lalu. Sejak perisitiwa kebakaran itu, Irvan sudah tidak pernah mengetahui semuanya. Semua ingatannya seakan hilang tanpa bekas. Irvan seperti melewati masa sepuluh tahun tanpa mengenal dirinya, ia melangkah tanpa mengerti apa yang sebenarnya dilakukannya saat ini.
“Soni…,”
“Soni…???” Irvan mulai keheranan dengan perkataan Suci barusan, kepalanya mulai terasa berat. Ia bahkan tak kuasa menahan sakit kepalanya saat ini. Suci mencoba untuk menenangkannya agar Irvan tidak terlalu mengingat hal yang seharusnya ia pikirkan kali ini.
Dari kejauhan tampak sebuah mobil dan juga seseorang yang berada di dalamnya mulai terus memperhatikan kegiatan yang dilakukan keduanya. Ia sesekali memegang handphonenya, matanya terus memperhatikan gerak-gerik dua orang yang sedang ia pantau.
“Soni… tenanglah… masuk dulu,” Suci membawanya masuk dan menyuruh Irvan untuk duduk terlebih dahulu sementara ia sendiri pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Irvan semakin mengingat dengan jelas seisi ruangan ini, keadaan yang belum cukup berubah, hanya sedikit tata letak dan juga pajangan yang terususun rapih menghiasi ruangan ini.
“Soni… minum dulu,”
“Tunggu sebentar, mengapa kamu memanggilku dengan Soni…?”
“Kamu masih belum mampu mengingatnya…? Soni… itulah nama aslimu,” Suci memperlihatkan sebuah potret dirinya bersama dua orang perempuan, sebuah potret dirinya semasa SMA yang sangat ia kenali.
“Mengapa kamu bisa menyimpan fotoku waktu SMA…?”
“Ternyata setelah peristiwa kebakaran itu ya…? Aku pikir mungkin sekarang waktunya untuk kamu mengingat siapa kamu sebenarnya. Kedua orang tuamu meninggal dalam kejadian sepuluh tahun yang lalu, dan kamu… menyelamatkan aku dan juga kakakku yang kebetulan berada di dalam. Mukaku ini…,” Suci memperlihatkan bekas luka bakar yang ia alami sepuluh tahun yang lalu kepada Irvan, yang sebenarnya bernama Soni.
“Setelah kejadian itu, aku harus kehilangan wajah asliku…,”
Soni mulai mengingat seluruh kejadian masa lalu, air matanya mulai membasahi seluruh pipinya. ‘Arrghhhh…!!!!!!’ Soni berteriak keras sekali, Suci hanya memperhatikannya sambil memegang kepalanya. Soni semakin tak bisa menguasai dirinya, ia memukul-mukul dinding beberapa kali sambil menangis. Suci menghampirinya perlahan,
“Soni…,” Suci memegang bahu kanan Soni sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian seseorang yang sudah lama memperhatikan mereka berdua masuk, orang yang Soni kenal dengan nama Irvan, seorang dokter yang bekerja di tempat yang sama.
“Soni… kamu sudah mengingat semuanya…?” Tanya Gina sambil tersenyum.
“Tapi kenapa baru sekarang…? Kenapa kamu nggak bilang saja supaya aku tahu siapa aku sebenarnya…?!”
“Belum saatnya Soni… mungkin sekarang adalah waktu yang tepat. Waktu aku lihat kamu menabrak Suci, aku terus membuntuti kamu dari belakang. Aku nggak nyangka kamu akan kembali ke rumah ini, kami berdua… sengaja menata kembali rumah ini agar suatu saat kamu bisa mengenal siapa kamu sebenarnya. Selain itu… aku juga terus memperhatikan kamu dengan sering berkomunikasi ataupun datang ke rumah kamu untuk ngobrol…,”
Soni semakin mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. Ia terus menangis dan menyesali kejadian masa lalunya, sebuah kesalahan yang tidak seharusnya ia perbuat. Wajah Suci sudah berubah karena operasi wajah sepuluh tahun yang lalu. Ia menghilang sejenak bersama sang kakak, dan menitipkan Soni yang hilang ingatannya kepada tiga orang pembantu yang lolos dalam tragedi maut tersebut dan tak lain adalah ketiga pembantu yang selama ini bersama Soni. Merka bertiga sengaja tidak memberitahukan terlebih dahulu identitas Soni yang sesungguhnya untuk waktu yang belum ditentukan, sampai Suci dan Gina cukup yakin untuk memberitahukan kebenaran tentang Soni. Setelah mengetahui keadaan yang sesungguhnya Soni hanya mampu menangis dan terus menangis, ia menyesali kebodohan masa lalunya.
“Seandainya saja waktu itu aku datang lebih cepat…,”
“Soni… kamu nggak salah kok, semua bukan salahmu karena ini semua adalah takdir yang sudah Allah tetapkan. Kamu seharusnya bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup lebih lama,” Suci memberikan senyuman manis untuknya.
Mereka bertiga langsung pergi menuju arela pemakaman, Soni meminta mereka berdua untuk mengantarkannya. Ia ingin melihat makam kedua orang tuanya untuk yang pertama kali setelah sepuluh tahun lamanya. Gina mengemudikan mobilnya perlahan, Soni masih duduk dengan pandangan mata yang terus ke bawah, Suci sendiri mencoba untuk menenangkan perasaan teman lamanya.
“Sudah sampai Soni…,” Gina langsung keluar dari mobilnya, diikuti oleh Soni dan juga Suci. Mereka perlahan menyusuri areal pemakaman yang sepi, tampak burung-burung kecil beterbangan di angkasa mengiringi langkah kaki mereka bertiga.
Suci menunjuk kearah Nisan yang bertuliskan ‘Rangga Dwi Septian bin Abdullah’ dan ‘Yulia Maharani binti Teguh’, kedua makam orang tua Soni.
“Ayah… Ibu… !!!” Soni memeluk batu nisan kedua orang tuanya sambil tak henti-hentinya menangis. Gina dan Suci sendiri mulai larut dalam kesedihan yang dialami oleh Soni.
Kebenaran yang akhirnya terungkap dan membuatnya untuk bisa menjadi lebih baik lagi. Soni amat menyesali kesalahan masa lalunya yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal, serta memberikan luka yang dialami oleh Suci. Kesalahan masa lalu itu tidak akan pernah terjadi manakala ia langsung pulang ke rumah untuk menemui Suci yang ingin berbicara dengannya. Ledakan kompor di dapur langsung membakar hampir seluruh isi rumah. Kedua orang tua Soni sedang beristirahat setelah pergi dari luar kota, sementara Gina dan Suci yang tepat berada disana mencoba untuk menyelamatkan keduanya namun tidak berhasil. Bi Inah, Bi Tari dan juga Mang Ujang tak mampu berbuat banyak setelah ‘si jago merah’ mulai melahap Suci dan Gina yang masih berada di dalam.
‘Astaga…!!!’ Tanpa pikir panjang lagi Soni masuk ke dalam, meski Bi Inah menyuruhnya untuk diam dan membiarkan mang Ujang yang menyelamatkan kedua temannya yang masih berada di dalam.
‘Suci… mba Gina…!!!’ Soni bergerak cepat menghampiri mereka berdua, Suci mengalami luka bakar yang cukup serius di bagian mukanya, mang Ujang langsung membantu Suci dan juga Gina. Tiba-tiba sebuah kayu menghantam bagian belakang kepala Soni dan membuatnya tak sadarkan diri. Gina berusaha untuk membantunya keluar dari rumah. Warga sekitar yang turut membantu tak mampu berbuat banyak, sehingga api semakin membesar dan membakar hampir seluruh isi rumah, kecuali bagian depan dan ruang tamu.
“Ayah… ibu… maafkan Soni…,” sambil terus menangis, Soni terus mengelus-elus makam kedua orang tuanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar