BAB II
Hari ini berlalu tenang
Sudah sekitar seminggu lamanya Ihsan tidak melakukan sesuatu yang berarti, tapi sekedar mengisi waktu luang sebelum sidang nanti. Ia menyempatkan waktu untuk berinteraksi dengan mahasiswa yang lain, juga teman satu Liqonya. Baginya waktu adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, terlebih menyampaikan risalah keagamaan yang ia peroleh dari Ustadz Al-Hori. Orang yang membimbingnya memperdalam keislaman serta memantapkan hatinya untuk terus berada dijalan-Nya.
Semenjak sang Ayah tiada, ia selalu berkunjung ke rumah Ustadz Al-Hori. Menyambung tali silaturahim dan belajar mendalami pemahaman agama. Sejak itu pula pertemuan dengan Iyan, Febry, Bayu, Arul dan Herman terjadi dan akhirnya mereka sepakat untuk mengontrak sebuah rumah.
Ustadz Al-Hori terkenal dengan ramahnya, beliau seorang yang murah senyum dan pekerja keras. Setiap pagi pergi ke pesantren untuk mengajar santrinya, dan sorenya ia sempatkan untuk datang ke Masjid Al-Huda yang diapit oleh Rumah Makan Suharti dan Puskesmas Jatinangor. Tempat berkumpul Ihsan dan juga tempat belajar teman satu kontrakannya.
“Assalamualaikum akhi…,”
“Wu… wu’alaikum salam ya ustadz!”
Ihsan sedikit terkejut dengan kedatangan Ustadz Al-Hori, ia baru saja selesai shalat ashar dan sedang melantunkan dzikir. Orang tua itu mengenakan pakaian koko seperti biasanya, perlahan ia menghampirinya dan duduk tepat didepannya.
“Bagaimana keadaanmu, Nak ?” tanya Ustadz Al-Hori dengan nada serak. Ihsan menghentikan sejenak dzikirnya,
“Alhamdulillah ustadz, aku baik-baik saja… hanya saja aku masih dalam keadaan bimbang,”
Nada suara Ihsan seolah menyiratkan sesuatu yang ia pendam, sang Ustadz mulai tersenyum.
“Apa yang membuat antum bingung, bukankah selama ini antum tampak tenang dan melakukan segala sesuatu dengan baik tanpa perasaan ragu sedikitpun. Apakah gerangan yang terjadi ?”
Ihsan terdiam sesaat, matanya tertuju pada karpet yang terbentang disepanjang ruangan dalam masjid itu, ia tertunduk untuk beberapa saat. Ustadz Al-Hori memegang pundaknya seraya berkata,
“Bilang saja…. jikalau saya bisa membantu maka akan saya usahakan sebaik mungkin.”
Nada tegas lelaki didepannya membuat ia bangkit dari diamnya, perlahan ia memandang lelaki yang ada didepannya.
“Sebentar lagi aku memang akan menjalani proses sidang, tapi masih ada keraguan dalam hatiku. Meski sudah lama kunantikan ini, namun sepertinya masih ada hal penting yang harus kuselesaikan sebelum kota ini aku tinggalkan dan pergi mengamalkan ilmu yang sudah aku peroleh. Terlebih ibu sudah lama ingin aku segera lulus dan bekerja, sementara beliau masih sakit meskipun kini beliau sudah sehat seperti biasanya…
Namun kemarin malam beliau berkata demikian, ‘Nak, kapan kamu akan menikah setelah kamu lulus? Jikalau kamu sanggup maka segeralah menikah, ibu sebenarnya ingin menimang cucu sebelum meninggal. Tapi… semua sudah ibu serahkan padamu nak…’ Itu yang membuat aku bingung ustadz…,”
Ihsan kembali menundukkan kepalanya, sementara sang Ustadz mulai tersenyum.
“Antum sudah punya bayang-bayang akhwat yang hendak kau lamar ??”
Ia hanya menggelengkan kepala, sesaat matanya mulai memandang langit-langit dan kembali menunduk.
“Sebenarnya... aku... menyukai Nisa, Rani Annis Ar-Rahmah... keponakan ustadz....”
Entah kenapa ia berkata sedemikian gamblangnya, bahkan ia takut jikalau sang ustadz tidak sependapat dengan yang barusan ia katakan.
Sebaliknya sang ustadz kembali tersenyum, kembali ia memegang pundak Ihsan.
“Alhamdulillah, nak... pilihanmu memang sangat tepat, semoga Allah meridhoi yang kau katakan barusan. Terus terang saya setuju jikalau antum memang begitu mantap hendak melamar keponakan saya sendiri, orang tua mana yang bakal menolak lamaran orang sepertimu. Lulusan Unpad, pintar, saleh dan berperangai baik...”
“Tapi aku tidak terlalu baik seperti yang ustadz katakan barusan,” potong Ihsan beberapa saat.
Ustadz Al-Hori kembali tersenyum, “Insya Allah saya akan membantu antum...,”
Ihsan mulai bisa tersenyum, setitik cahaya cerah agaknya mulai tumbuh dalam hatinya. Perlahan ia mulai meneguhkan hatinya dan yakin kalau memang Nisa pilihan yang paling tepat dan juga ibu pasti akan senang dengannya.
“Assalamualaikum !!!”
Tiba-tiba ucapan salam terucap.
“Wu’alaikum salam… !” jawab mereka berdua serempak.
Seperti biasanya, pada hari Rabu adalah kegiatan mingguan rutin Liqo. Sepeti biasanya pula Ihsan dan teman sekontrakannya datang untuk belajar di masjid Al-Huda bersama Ustadz Al-Hori. Agaknya sore ini beliau tidak bisa lama bersama mereka, mengajarkan ilmu untuk para junior ini serta memantapkan pemahaman agama mereka. Beliau masih harus mengurusi kontrakan barunya yang sedang dibangun.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh... seperti biasanya pada hari ini kita rutin melakukan liqo, untuk pertama kali marilah kita bersama membaca basmallah...”
Yang lainnya saling membaca basmalah, kegiatan sore ini pun dimulai. Untuk selanjutnya, ustadz memimpin jalannya Liqo sore ini, sebagai pembuka mereka semua membaca mushaf. Dimulai Iyan yang membaca surat Ar-Rahman, Febry membaca surat Al-Waqi’ah, Herman membaca surat Al-Hadid, Bayu membaca surat Al-Hasyr, kemudian Arul membaca surat Al-Mujadilah. Ihsan sendiri membaca surat Yaasin. Ustadz sengaja menyuruh mereka membaca mushaf yang berurutan sementara Ihsan beliau bedakan.
Setelah semua selesai, ustadz mulai memberi beberapa materi. Kali ini adalah manajemen qalbu, persoalan yang sering dibahas Aa Gym dalam setiap dakwahnya. Ustadz membagikan beberapa buku tipis yang isinya mengenai pokok bahasan yang akan dikupas sore ini.
“Baiklah, sekarang saya membagikan kepada kalian buku-buku tersebut… silahkan kalian baca, nanti salah seorang dari kalian mempresentasikan apa yang barusan kalian baca. Kalian ambil materi yang paling awal atau pokok bahasan paling awal, sebab saya tidak terlalu punya banyak waktu sore ini…”
“Oh ya ustadz, kenapa tidak sekarang saja ditunjuk salah seorang diantara kami yang mempresentasikan bahasan yang dibaca ?” pinta Iyan.
“Mmm, bener juga ustadz…” imbuh Herman kemudian. Yang lainnya hanya mengangguk. Sementara ustadz Al-Hori hanya tersenyum kecil, “Bacalah terlebih dahulu, biar nanti saya yang putuskan…”
Akhirnya mereka semua mulai membaca, ustadz kemudian membaca mushaf sambil menunggu murid-muridnya membaca.
Ihsan membaca dengan cukup pelan, berbeda dengan junior-juniornya. Perlahan ustadz Al-Hori memperhatikan sikap Ihsan, dari raut wajahnya tersirat keseriusan dan semangat kerja keras yang tak mengenal lelah.
*****
Ustadz Al-Hori teringat ketika pertama kali bertemu dengannya, tempat yang sama dengan kegiatan saat ini dan akhirnya diputuskan sebagai tempat berbagi ilmu selain di pesantren. Saat itu Ihsan tengah berdzikir sambil menitikkan air mata, sementara jamaah shalat Ashar yang lain sudah pergi meninggalkan masjid setelah berdzikir.
Ustadz terus memperhatikan sikapnya yang semakin berbeda dari menit ke menit, air matanya terus mengalir tak tertahan.
‘Assalamualaikum akhi…,’
‘Wu’alaikum salam…,’
Ihsan kembali melanjutkan dzikirnya, sementara itu ustadz semakin mendekat kearahnya.
‘Nak… kenapa kamu demikian derasnya mengucurkan air mata ? Lantunan dzikir terus kau ucapkan… masalah besar apakah yang membuatmu bersedih sedemikian memuncaknya ???’
Perlahan Ihsan mengusap air matanya, ia terus menyeka tangisnya, ‘Apakah harus demikian sulitnya perjalanan hidupku ? Kenapa aku terus dilanda kesedihan dan kesulitan ? Sementara diluar sana banyak orang yang sibuk dengan urusan duniawinya, seakan Allah tidak memberi secuilpun kesusahan…?’
‘Astaghfirullah… kenapa antum bisa sebegitu mudahnya mengatakan hal yang demikian? Apakah antum merasa Allah tidak adil ?’
Ustadz Al-Hori tersenyum kecil, sementara Ihsan memandang beliau yakin, ‘Ya, pak !!! Allah tidak adil pada hamba-Nya termasuk diriku sekarang ini…!!!’
Ihsan menjawab tegas pertanyaan tersebut. Ustadz memegang pundaknya seraya berkata,
‘Nak… pernahkan terbesit dalam pikiranmu bagaimana Rasul pilihan Allah mengalami permasalahan dan problem yang kompleks ?? Ingatkah bagaimana mereka menjalani ujian yang sedemikian berat sampai terasa sangat tidak mungkin berakhir apabila kita tahu seperti apa ujian yang Allah berikan untuk mereka…,’
Ustadz Al-Hori mulai menitikkan air mata. Ihsan sedikit tertegun, ia kembali memandang orang yang baru pertama kali ia temui dengan seksama.
“Pak, mereka berbeda… mereka Rasul pilihan yang mempunyai hati yang kuat dan kewajiban membimbing umatnya ke jalan yang benar, sementara aku hanya seorang miskin yang tidak memiliki kekuatan apapun… aku…’
Ihsan tak kuasa menahan tangisnya, ia tertunduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
‘Nak, sekali lagi janganlah berkata seperti itu… Allah tidak memberikan ujian pada suatu kaum, melainkan mereka mampu untuk melaluinya” … ujian yang antum alami sekarang mungkin rentetan keberhasilan yang nanti akan nanda rasakan di hari kemudian, nanda harus yakin kalau Allah akan terus memberikan rahmat-Nya pada umatnya yang senantiasa bertasbih dan menyembah-Nya dengan penuh rasa keyakinan.’
‘Ayah…’
Ucapan itu begitu mudahnya terucap dari mulutnya yang tak tahan ingin berteriak sekencang-kencangnya.
‘Nak, ceritakanlah masalahmu… Insya Allah akan bapak bantu bila sanggup.’ Ustad Al-Hori tersenyum sesaat, beliau duduk tenang di depannya. Ihsan masih belum membuka kedua telapak tangannya yang masih menutupi seluruh bagian mukanya.
‘Hiks… Pak kenapa orang miskin terus dalam keadaan yang tetap padahal mereka berusaha untuk yang lebih baik serta diberi ujian sedemikian hebatnya… sementara diluar sana, orang-orang yang kaya dengan kerja sedikit malah menjadi semakin kaya padahal mereka terus menjauhi-Nya, keangkuhan dan keegoisan mereka seakan terus ada, selain itu ujian yang Allah berikan rasanya ringan…’
‘Manusia memiliki kecenderungan untuk mengatakan demikian, seakan mereka lupa akan segala rahmat yang selalu Ia berikan untuk hamba-Nya. Ketahuilah nak, kamu termasuk yang lebih beruntung dibandingkan mereka yang harus bertahan hidup dan mencari sesuap nasi yang rasanya sulit….,’
‘Pak… aku tahu semua itu, tapi… aku tak mampu menahan rasa kehilangan seorang ayah yang paling kusayangi… orang yang membanting tulang selama hidupnya untuk seluruh anggota keluarga termasuk aku !!!’
‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un….’ Ustadz Al-Hori terdiam sesaat, sementara Ihsan terus mengalirkan air matanya seakan sulit untuk dibendung. Bibirnya terus bergerak seraya mengucapkan kalimat tasbih.
‘Nak... ternyata nasib kita sama,’
Ihsan terdiam sesaat, perlahan ia memandang lelaki tadi yang sedang tersenyum. ‘Maksud bapak…???’
‘Jadi… disaat bapak ingin berbakti kepada beliau, keduanya berpulang ke Rahmatullah. Mereka berdua kecelakaan saat berpulang dari Baitullah, waktu itu… bapak menunggu mereka di bandara bersama anggota keluarga yang lain,’
Hatinya seakan tidak percaya, seakan ada gejolak batin yang amat dalam. Ustadz Al-Hori tidak begitu menampakkan kesedihan yang mendalam dan hanya beliau simpan dalam hatinya. Hati Ihsan berkata sekilas mengenai ketegaran dari kalimat yang barusan ia dengar.
‘Nak… sebagai sesama orang yang ditinggal oleh orang tua, alangkah baiknya kita selalu mendoakan beliau yang sudah berpulang. Semoga diterima disisi-Nya dan segala amal ibadah mereka diterima oleh Allah SWT.’
‘Pak... sungguh baru kali ini aku melihat seorang yang begitu tabah menghadapi cobaan...,’
‘Allahlah yang membuat bapak demikian, awalnya... bapak juga sangat tidak menerima semua yang telah terjadi. Tapi... pesan terakhir yang beliau tinggalkan membuat bapak bisa menerima segalanya.’ Potong Ustadz Al-Hori.
Sudah cukup lama mereka berdua berbincang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.
‘Kalau boleh tau... pesan seperti apakah yang membuat bapak demikian???’
Ustadz Al-Hori hanya tersenyum kecil, ‘Datanglah ke pesantren Al-Ihsan di Cibiru, bapak akan punya banyak waktu disana. Oh ya, saya juga lupa mengenalkan diri... Al-Hori...!!’
Ihsan mengulurkan tangan kanannya, ‘Ihsan... jadi, bapak seorang ustadz?’
‘Alhamdulillah nak, mungkin ini jalan yang sudah Allah SWT takdirkan buat saya...,’
Ustadz Al-Hori langsung bangkit, kemudian pergi seraya mengucapkan salam. Ihsan terus memandang kearah lelaki yang cukup tua itu, hatinya masih menyimpan beberapa pertanyaan. Ia mengusap mukanya yang sudah dibasahi oleh air mata,ia pun menuju tempat wudlu dan mencuci mukanya.
‘Bismillah...,’
Kakinya mulai mengajak keluar, ia pergi meninggalkan masjid dan bermaksud kembali kekosannya. Perjalanannya ditemani awan yang memerah di ufuk barat sana, suasana jalan yang ramai seperti yang biasa ia temui setiap hari.
Sementara dari ujung sebuah gang, ustadz Al-Hori terus memperhatikan seseorang yang baru pertama kali ia temui.
‘Nak, saya yakin kamu mampu melalui setiap cobaan yang Allah berikan... semua... tersirat dalam wajah dan kerut dahimu...,’
Beliau beranjak kembali dari tempat itu, tangannya memegang tasbih dan terus mengucapkan kalimat tasbih, tahmid, takbir dan tahlil di sepanjang langkahnya. Para malaikat diatas sana seakan mendoakan setiap hela nafas dan langkahnya untuk terus berada dijalan-Nya. Tempat itu pun akhirnya yang mempertemukan seluruh pemuda yang kini dibimbingnya, Masjid Al-Huda.
*****
“Ustadz...,”
“Astaghfirullah...!!!”
Ustadz Al-Hori langsung menutup mukanya, sementara anak didiknya terus memperhatikan beliau yang terus melamun.
“Sudah selesai...?”
“Kami bahkan menunggui ustadz yang sejak tadi terdiam, sebenarnya... apa yang sedang ustadz pikirkan ?”
Pertanyaan Herman agaknya membuat beliau malu, sementara anak didiknya agak menahan rasa ingin tertawa. Ihsan sendiri terus tersenyum melihat sikap ustadznya beberapa menit yang lalu.
“Afwan, mungkin saya agak sedikit lelah. Tapi...,”
“Kalau begitu... mendingan ustadz istirahat saja,” potong Bayu.
“... Melihat kondisi ustadz yang seperti ini, rasanya kami yakin kalau ustadz sedang dalam kondisi kurang vit. Lebih baik...,”
“Tidak apa-apa kok, ilmu yang saya ajarkan belum semuanya kalian terima... dan juga, kalian kan tidak selamanya akan ada disini,”
Semuanya terdiam sesaat.
“Bagaimana kalau besok sore saja kita lanjutkan pertemuan kali ini ?”
Ajakan Ihsan belum sepenuhnya mereka respon, disamping itu ustadz Al-Hori nampaknya cukup sedikit lelah.
“Baiklah... Insya Allah pertemuan kita dilanjutkan besok. Sebagai penutup mari kita membaca do’a penutup majelis...” kata ustadz Al-Hori.
Sore ini nampaknya kurang begitu bersahabat dengan beliau, padahal ketika awal-awal suasana cerah menyelimuti beliau.
Keadaan memang tidak selamanya akan baik dan terkadang hal buruk dapat datang kapanpun ia mau. Ihsan dan para juniornya kembali kekontrakan, sementara ustadz Al-Hori langsung pamit pulang mengendarai sepeda motor Hondanya.
“Kang, kok tumben ya ustadz Al-Hori sakit... padahal biasanya juga sehat-sehat aja,”
Perkataan Iyan mulai membuat Ihsan sedikit terkejut, “Keadaan seseorang siapa yang tahu ?”
Sore ini mereka lalui dengan tenang, begitu pula dengan Ihsan. Ia teringat perkataan ustadz Al-Hori sebelum pulang, “Datanglah ke kontrakan saya kalau nanda ingin bicara lebih banyak soal yang tadi...,”Ia teringat dengan pembicaraan diawal sebelum kegiatan Liqo dimulai. Agaknya selain keinginan untuk segera lulus kuliah tahun ini, keinginan memiliki seorang pendamping hidup mulai terbesit dalam benaknya.
Selasa, 23 Juni 2009
DEAR…
Sore ini berlalu cukup tenang, dengan rintik hujan yang masih membasahi bumi yang indah. Beberapa tetes membasahi bahunya yang terbiarkan tanpa kain, ia masih duduk di bawah pohon beringin menemani kelincinya. Sudah lama ia berada disana, bahkan sebelum hujan turun 2 atau 3 jam yang lalu. Disampingnya bercecer kertas dan buku, terselip diatas telinganya sebuah ballpoint. Ia masih mengamati kelincinya yang berlarian,
“Kalau ingat dulu…,” batinnya menyeruakkan kata-kata itu… membawanya melintasi dimensi ruang dan waktu. Menembus kegalauan masa lalu dan jelas masih berbekas dipikirannya.
…... Waktu melintas tanpa disadari, sudah usia enam belas tahun kini. Dengan kata lain, masih berada di bangku kelas XI SMA. Sosok yang sudah banyak dikenal karena keaktifannya dalam organisasi sekolah, selain itu ia juga cukup cerdas dalam persaingan akademis. Meskipun begitu, ia masih memiliki perasaan yang dipastikan bakal menjadi pukulan balik. “Kalah sebelum bertanding”, singkatnya ia terkesan agak mudah putus asa dan disamping itu terkesan cepat mengambil keputusan.
Dalam raganya mengalir darah Ayah yang penuh percaya diri, dan tertutup perasaan khawatir sang Ibu. Banyak hal yang belum ia ketahui di sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri. Belum lagi, ia terlalu mencemaskan sesuatu dan… hal ini yang menjadi hal paling menakutkan dalam hidupnya.
“Win…,”
Ia menoleh kearah suara panggilan,
“Hei… tumben kamu sendirian ?”
“Biasa aja kok… Mmm, oh ya Nur… Ria sudah datang belum ?”
“Lho, emangnya di kelas kamu nggak ngeliat dia ?”
Agak mengernyit dahinya, ”Tasku kan masih dibahu… jelas dong aku belum masuk kelas !”
“Udah tuh… dia lagi ngobrol-ngobrol ma yang lain,”
“Hari ini nggak ada tugas, kan ?”
“Nggak ada…, sebenarnya… kamu suka kan sama dia ?”
“…Ria…?” katanya sambil memandang wajah temannya.
Ia terdiam sejenak, suasana mendadak menjadi cukup serius.
“Kenapa Win ? Maaf deh kalo pertanyaanku tadi buat kamu tersinggung…,”
“Nggak kok…, aku cuma bingung aja.”
Beberapa teman lainnya menghampiri mereka berdua, “The Five Amusement Boy’s”.
“Hei…hei, morning !” sapa Ferdi.
Tiga orang lainnya menuju kelas, Andri masih berdiri ditemani Ferdi. Sambil menunggu bel masuk berbunyi mereka berempat bercanda, hal yang paling disukai Erwin. Terkadang sampai berlebihan.
“Masuk yuk…!” ajak Andri.
Pagi yang cukup membingungkannya, seperti ada hal yang mengganjal dalam pikirannya, benaknya, bahkan… perasaannya. Sapaan Ria membuyarkan langkah lamunannya, ia balas dengan senyuman kecil. Bangkunya di belakang, ia duduk bersama dengan Eby, teman sejak masa SD dulu. Selain itu, mereka berdua membentuk “Whest”, sebuah grup band, bersama kelima rekan yang lainnya. Kini hanya mereka bertiga bersama Hilman, Tegar dan Syamsul sekolah di Karawang, Reza di Tangerang, dan Ogi pergi ke Jakarta dan menjadi montir disana membantu Ayahnya.
Lantas sebenarnya dalam benaknya kali ini tiada lain, ia bingung dengan perasaannya. Ria adalah teman yang pertama kali menamparnya, akibat masalah kecil,”ledekan”. Dari hal itu, mereka berdua selama sebulan musuhan, sampai akhirnya Erwin mengalah dan tidak ingin membuat masalah lagi dengannya. Erwin terkadang berlebihan dalam bercanda, bahkan bisa dianggap serius. Meskipun begitu, ia bisa menjadi orang yang terlalu baik. Apalagi jika ada orang yang membantunya, bisa ia balas dua kali lipat dari sebelumnya, dan bahkan bisa lebih. Ia orang yang tahu terima kasih.
Cinta pertamanya memang bukan Ria, sebelumnya ia sudah menjalin hubungan asmara, “terlarang” bersama Rahma. Perempuan yang sudah lama ia kenal sejak SD, dan beda sekolah. Hubungannya terkadang baik, tegang, sampai akhirnya ia harus mematuhi perintah sang ibu untuk memutuskan tali diantara mereka.
“Ri…,”
Ria menatapnya cukup serius, “ada apa ?”
“Aku ingin ngobrol sesuatu ama kamu… bisa?”
Balasan senyuman ia dapat, diajaknya Ria ke taman depan. Mereka hanya berdua, tidak ada rekan sekelas lain kecuali beberapa orang siswa yang sedang asyik bercanda dan ngobrol-ngobrol disana.
“Ri… ada hal kecil yang mau aku omongin,”
“Ngomong aja Win…,”
“Sebagai partner, aku sangat menghargai persahabatan diantara kita… Tapi sebenarnya… aku memendam rasa suka terhadapmu ! Maaf… banget, kalau apa yang sudah aku utarakan menyinggung kamu,…”
Ria agak menghela nafasnya, ia menatap wajah Erwin pelan.
“Mmm… Nggak apa-apa kok Win, setiap orang pasti menyimpan perasaan yang sama kayak kamu. Sebab… dulu juga aku pernah dalam kondisi seperti kamu, tapi posisi aku sebagai perempuan…”
Erwin agak tersenyum, Ria pula. Kali ini Erwin tidak ada maksud untuk mengutarakan perasaannya, ia hanya menyampaikan perasaan yang boleh dikatakan tak perlu dibalas.
*****
Berlalunya waktu seakan mengantarkan Erwin pada hal yang mulai membebaninya, ia masih belum bisa menemukan jati dirinya sebagai seorang “partner” yang berada di belakangnya. Kecurigaan beberapa orang temannya mulai menjadi, ia hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia beberapa kali mengajak Ria jalan bareng, ataupun belajar bersama.
Banyak hal yang belum ia mengerti, dan kebanyakan ia mengalah pada keadaan. Beberapa kali Ria pernah menjauhinya, tanpa penjelasan yang berarti. Sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk orang yang jelas-jelas bukan miliknya.
“Win…,” sapa Yosi mengguncang lamunan Erwin.
“Eh kamu… Yos,”
Erwin masih duduk terpaku di teras, matanya tertuju ke arah lapangan basket.
“Nggak seperti biasanya kamu seperti ini, ada apa…?”
“Nggak kok biasa aja…,”
“Ria banyak cerita…”
Erwin langsung tercengang dan menatap wajah Yosi, ia kembalikan mukanya ke tanah.
“… Maaf Win, aku nggak ada maksud buat nyinggung kamu. Aku juga belum paham dengan beberapa cerita Ria tentang kamu…, satu hal yang pasti…”
“Apa…?” potong Erwin.
“Dia ingin kamu merubah sikap kamu,…”
Yosi langsung meninggalkannya menuju kedalam kelas. Tanpa gerakan yang berarti, ia kembali tertunduk dalam kesendiriannya.
“Hei Win…! Masuk gih!” kata Andri.
“Yoi bro…, “km” kita masa di luar?” imbuh Nur.
Erwin hanya membalas dengan senyuman. Ia mengikuti saran kedua rekannya, wajahnya cukup lesu. Ia sama sekali tidak memalingkan wajah kebawah, diam seribu bahasa. Erwin yang sekarang tidak banyak tingkah. Satu demi satu pelajaran dilaluinya tanpa respon yang berarti. Pertanyaan temannya hanya dibalas dengan kata “Nggak pa-pa” atau “Biasa aja” bahkan “Lagi pengen diem aja”.
Hari yang sama sekali tidak membuatnya merasakan semangat. Satu kesempatan ia berpapasan dengan mantannya,
“Rahma…,”
“Eh… Erwin… gimana kabar ?” katanya lembut.
“Baik kok, kamu sendiri…?”
“Ya, seperti yang kamu lihat… Mmm, kamu kayaknya lagi nggak mood…”
Erwin hanya tersenyum kecil dan seperti biasa, “nggak pa-pa”. Kebetulan sekali mereka pulang satu arah, jadi seperti waktu kebersamaan dulu. Erwin menjadi cukup nyantai, ia sejenak melupakan kemelut dalam dirinya. Rahma sudah cukup berubah, dari mulai nada bicaranya yang agak tenang. Sebelumnya ia sering berceloteh, banyak mengemukakan hal yang patut dibicarakan.
Kembali dengan masanya, ia makin dekat dengan jati dirinya. Ia banyak melakukan hal yang dianggapnya menjadi proritas, tidak jarang ia belajar sampai larut malam. Setiap hari hanya melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan dengan frekuensi yang sering. Dari nge-band bareng teman-temannya, belajar setelah shalat subuh, sampai ia sendiri ikut klub basket.
Seiring waktu yang berlalu, teman-temannya mulai menyadari perubahan drastis dalam dirinya. Bahkan, Ria sendiri.
“Win…,”
Ia menengok kearah suara,
“Win, kita cabut dulu ya… !” kata Andri.
Ardi beranjak dari tempat itu, ditemani Ferdi dan Eby. Sudah cukup lama mereka ngobrol di dalam kelas yang kebetulan gurunya sedang behalangan hadir. Erwin merapihkan bukunya yang tergeletak begitu saja di atas meja, ia seakan tidak menghiraukan kehadiran seseorang yang agak menganggu kegiatannya tadi.
“Kamu, marah… Win ?”
“Terserah kata kamu… !” balasnya ketus.
Ria langsung pergi meninggalkannya, tanpa disadari mereka diawasi oleh teman-temannya.
“Win, kamu jangan gitu dong…” kata Yosi sambil menghampirinya.
“Ya kalau nggak niat ngomong, jangan kesini lagi gitu… !”
“Biar bagaimanapun juga dia pasti punya niat baik…, jangan seperti ngebales,” imbuh Nur.
Erwin hanya tersenyum kecil, ia pergi keluar. Tampak olehnya Ria menahan isak tangisnya ditemani Eby, Mell dan Wiwin. Ia berjalan berlawanan dari arah mereka, mencoba sedikit menghindar. Erwin tak mampu menahan perasaan kecewa daripadanya, meski ia masih ingat dengan perasaannya dulu padanya. Semuanya seakan hilang tak berbekas, hanya menyisakan kenangan pahit yang tak berujung.
“Win…,”
Suara itu masih belum membangunkan lamunannya. Sama seperti keadaan yang sebenarnya saat ini.
*****
Ia terhentak dengan kelinci yang menubruk kakinya. “Wah sepertinya aku terlalu banyak melamun…,” katanya dalam hati. Ia langsung merapihkan ceceran kertas tadi, cuaca disekitarnya mulai membaik. Perlahan ia membawa kelincinya kembali ke kandang, kertas-kertas itu mulai tersusun rapih dan ia biarkan tersimpan dibawah pohon tadi.
“Kakak… !”
Panggilan adiknya mulai menjauhkan dirinya dari lamunan itu. Fani namanya, 15 tahun dan ia kebetulan sekolah di tempat yang sama saat Erwin masih duduk di bangku SMA. Meski masih kelas X, prestasinya hampir mengalahkan kakaknya terutama di bidang seni. Dari mulai lomba membaca dang mengarang puisi, cerpen bahkan novelnya yang pertama hampir ia selesaikan. Tidak hanya itu, bakatnya dalam seni lukis membuatnya melenggang hingga tingkat propinsi.
“Baru pulang ?”
“Nggak kok , dari tadi… kakak akrab bener ama kelincinya.”
“Si Jimmy kan teman kakak sejak SMA,”
Fani menggendong Jimmy, dibawanya ke kandang. Sementara kakaknya malah kembali merenung, entah apa yang dipikirkannya saat ini. Sekarang ia sudah mempunyai seorang istri, satu angkatan saat kuliah dulu. ‘Riri’ begitulah namanya, lulusan fakultas keperawatan UNPAD. Sedangkan ia sendiri berencana melanjutkan studi kedokteran spesialisnya, meski sebenarnya ia sudah dapat pekerjaan di RS. Hasan Sadikin. Istrinya sendiri sama bekerja di tempat itu juga.
“Kak… ade mau nanya sesuatu nih!”
“Mmm, boleh…”
“Gini loh kak… aku habis ditembak ma cowok loh !”
Betapa terkejutnya ia oleh perkataan adiknya tadi,
“Terus…,”
“Justru itu kak, cowok itu… dulunya pernah ‘eng-engan’ ma aku. Setelah beberapa lama, kita baikan… entah mengapa selama itu… dia malah mengatakan rasa ‘suka’ dia ke aku…,”
Kembali ingatan masa lalunya yang masih menyimpan sejuta misteri dibalik cerita romantika remaja SMA.
*****
“Win…,”
“…,”
Erwin masih dalam diamnya, ia hanya merespon dengan lirikan matanya yang seakan menilai orang itu mengganggu kegiatannya saat ini.
“Sorry Mel…, aku lagi pengen sendiri…” ia berkata tanpa melihat orang yang sedang berada didekatnya.
“… Aku ngerti kok !”
Erwin membalikkan pandangan matanya sambil tersenyum kecil untuk temannya. Sore itu di lapangan yang sepi, hanya mereka berdua. Teman asrama lainnya masih sibuk antri untuk mandi, beberapa orang bermain gitar dekat mess.
“Win… aku… mau nanya sesuatu… boleh ?”
“Mmm… boleh kok,”
“Kamu… ma Ria… udah baikan?”
“…,”
“Sorry… kalau pertanyaanku tadi nyinggung…,”
Erwin kembali tersenyum, “Tenang aja… aku… udah baikan kok,” Ia pergi dari tempat itu, sambil berkata pada temannya bahwa suatu saat ia akan mengatakan hal itu ke Ria. Cepat ia melangkahkan kakinya ke tempat asrama laki-laki, tempat yang paling dekat dengan ruangan kelas XII. Tak terasa sudah delapan bulan berlalu, ia sudah duduk dibangku kelas XII. Kini ia berada di kelas yang paling ketat persaingannya, kelas khusus XII IPA 1. Ria sendiri ada di kelas XII IPA 3, masih satu lajur dengan kelasnya.
Berbeda dengan keadaan saat masih kelas XI, Erwin lebih bisa mengerti apa yang guru jelaskan. Dia jadi lebih sering belajar, terutama bareng Rara, cewek yang pernah dia suka waktu kelas X. Tapi tetap saja Erwin yang lupa, ia sama sekali tidak mampu mengingat dengan baik masa lalunya. Di kelas yang baru, ia membentuk genk kecil, Riza, Arif dan Asrul, empat cowok yang disebut The Best Four Intelligence Student. Empat orang cowok pintar yang siap bersaing menunjukkan siapa yang lebih baik, tapi tetap saja yang namanya teman tidak ada yang perlu diperdebatkan.
Malam ini seperti biasanya, anak-anak asrama belajar dibimbing guru masing-masing. Kali ini Erwin kembali satu kelas dengan Ria, lain halnya dengan dulu, mereka berdua sudah melupakan kejadian masa lalu.
“Win… ?”
“Ada apa, Ra ?”
“Hari ini… kayaknya kamu beda deh,”
“… Ah… masa ? biasa aja kok !”
“Sumpah ! Kamu jadi lebih tenang… otak kamu… malah lebih encer,” puji Rara sambil berseri. Erwin tersenyum kecil atas pujiannya. Ia sejenak melirik kearah bangku Ria, cewek itu duduk dengan tenangnya. Erwin kembali tersenyum, ia membuka buku catatannya sambil membaca beberapa materi siang tadi.
Malam ini Pak Edy menjelaskan bab matriks, bab ke sepuluh dari lima belas bab yang harus kelas XII tuntaskan sebelum menempuh ujian nasional.
“Hei…,” sapa Ria.
“Ehemmm… !” balas Rara pelan.
Erwin tersenyum kecil sambil menyenggol kaki kanan Rara yang mulai meledeknya, ia meminta teman sebangkunya untuk tidak merespon apapun. Supaya ia bisa tenang, sambil menerima materi dari Pak Edy.
Malam ini pula, tepat besok ia akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Hari yang setiap tahun tidak pernah dia rayakan, yang baginya tidak terlalu penting. Tapi, kali ini kedua orang tuanya meminta untuk merayakan bersama teman-temannya. Sebenarnya ia tetap bersikeras untuk tidak melakukannya, sebab baru pertama kali ia merayakannya sejak terakhir berumur lima tahun ia pernah merayakan ulang tahun di Taman Kanak-Kanak, karena waktu itu ia masih kecil.
“Win…,”
“Nnggg… ada apa Ra ?”
“Besok… acaranya jadi ?”
“Mmm, insya Allah… ntar liat aja deh !”
Belajar malam sudah selesai, semuanya kembali ke asrama masing-masing. Erwin masih berdiri menunggu ketiga teman genknya yang masih belajar di ruangan kelas lain, ditemani Rara.
“Win… duluan !” kata Ria tiba-tiba.
“Eh… iya…,”
Erwin sedikit gugup, ia hanya membalas kembali dengan senyuman kecil. Rara yang berada disampingnya sudah lama memperhatikan sikap Erwin sejak di kelas tadi, tampak Erwin masih menyimpan rasa sukanya pada Ria.
Kelas kedua sudah selesai, ketiga temannya menghampiri keduanya, Arif, Riza dan Asrul. Ketiganya sudah sejak SMP berteman, meskipun tidak terlalu akrab.
“Wei… duaan aja nih !?” kata Asrul sedikit menyindir.
“Ngeledek nih… atau jangan-jangan…”
“Cemburu maksud lo !!” potong Riza.
“Hah… Asrul cemburu ma aku ? Bagus dong !?” lanjut Rara
“Udah malem, bercandanya dilanjutin besok aja…”
Arif akhirnya menjadi penutup, keempat siswa itu berjalan kembali ke asrama masing-masing. Sambil berjalan, acara bercanda terus dilanjutkan.
”Srul... lu cemburu ya tadi...?” ledek Riza.
“Maksud lo...?????!!!!”
Mata Asrul mulai melotot, sementara Rara sendiri tertawa kecil melihat tingkah teman-temannya yang seperti anak kecil.
*****
Sore ini Erwin sudah sangat rapih, sebuah acara kecil di rumahnya membuat suasana mulai ramai. Tak hanya teman satu kelas yang datang, Erwin mengundang semua temannya untuk menghandiri acara Pesta Ulang Tahun yang ke-17 buatnya. Sebagai anak pertama, kedua orang tuanya begitu memperhatikan kegiatannya. Erwin sebenarnya memeliki adik yang baru berumur lima tahun dan baru masuk di sekolah Taman Kanak-Kanak, namanya Fani.
“Selamat ulang tahun ya Win…,” semua teman-teman yang diundang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, Ria juga berada disana, ia tampil sangat cantik kali ini. Erwin tersenyum manis untuknya.
“Tiup lilinnya… tiup lilinnya…!!! Semua teman Erwin langsung memintanya untuk meniup lilin sambil mengucapkan permohonan di hari ulang tahnu ya ke-17 baginya. Erwin sejenak memejamkan mata sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya, perlahan ia mulai meniup lilinnya yang berangka ‘satu’.
“Untuk angka ‘tujuh’ ini… aku serahin ama Ria untuk meniupkannya untukku…,”
‘Ehem.. ehem…’ Ria sangat terkejut mendengar permintaan Erwin. Ia merasa bingung saat ini, hanya saja teman-teman yang lain memintanya untuk menerima permintaan Erwin.
Lilin angka tujuh pun akhirnya padam, semuanya memberikan tepuk tangan yang meriah, alunan musik pop mengiringi pesta ulang tahun kali ini. Erwin mengajak Ria untuk berbincang-bincang di luar, mereka berdua duduk tenag di teras sambil membawa kue dan minuman.
“Ri… makasih ya udah datang kesini,”
“Sama-sama Win… aku cuma kaget waktu kamu minta aku untuk bantĂș niupin lilin,” kata Ria cukup malu.
“Aku mau ngomong satu hal ama kamu…,”
“Apa…??” tanya Ria sambil menatap wajah Erwin yang cerah kali ini.
“Mengenai hal yang dulu pernah aku omongin… sebelumnya, aku mau minta maaf atas semua yang pernah aku lakuin ama kamu, pernah nyakitin hati kau dan membuatmu begitu kesal karena kehadiranku,”
“Nggak kok Win… aku yang salah sama kamu… aku yang seharusnya minta maaf,”
Erwin tersenyum kecil untuknya, “Ri… kalau aku sayang sama kamu… boleh kan…??”
Ria terdiam sejenak, ia bingung untuk membalasnya. Matanya terus menatap lantai,
“Ria… mungkin aku seharusnya nggak bilang hal ini lagi ama kamu, hanya saja… aku punya sebuah keinginan untuk membahagiakan hidup orang yang aku sayangi… mungkin orang itu adalah kamu,” kata Erwin sambil menatap langit biru sore ini.
“Kamu… serius Win…??”
“Aku… serius Ri…,” jawab Erwin sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka terus terdiam sambil mendengarkan alunan musik, Ria tersenyum untuknya.
“Ya…,”
Erwin kembali menatap langit dan sesaat memejamkan matanya, lalu bangkit dan berteriak, ‘Ya…!!!’. Ria hanya melihat tingkah Erwin yang begitu bahagia, hari ini menjadi awal bagi hubungan mereka berdua. Hari-hari selanjutnya akan mereka lalui bersama dan pesta ulang tahun kali ini melengkapi kebahagiaan yang Erwin rasakan. Ria sendiri merasakan kebahagiaan yang sama karena akhirnya bisa membalas perasaan yang selama ini dipendam oleh Erwin.
*****
“De… kamu suka nggak ama dianya…?” tanya Erwin.
“Mmm… Fani sebenarnya suka kak, cuma… Fani masih belum yakin ama perasaan yang sekarang Fani rasa.”
“Katakan ‘ya’ kalau kamu sudah yakin… kakak pikir mungkin dia anak yang baik,”
“Nggak baik juga sih kak, pinter banget anaknya…,”
Erwin tersenyum untuk adiknya. Fani langsung masuk kedalam, sementara Erwin kembali merapihkan catatannya, dan juga buku diarynya yang berisi catatan perjalanan masa lalu.
Sore ini berlalu cukup tenang, dengan rintik hujan yang masih membasahi bumi yang indah. Beberapa tetes membasahi bahunya yang terbiarkan tanpa kain, ia masih duduk di bawah pohon beringin menemani kelincinya. Sudah lama ia berada disana, bahkan sebelum hujan turun 2 atau 3 jam yang lalu. Disampingnya bercecer kertas dan buku, terselip diatas telinganya sebuah ballpoint. Ia masih mengamati kelincinya yang berlarian,
“Kalau ingat dulu…,” batinnya menyeruakkan kata-kata itu… membawanya melintasi dimensi ruang dan waktu. Menembus kegalauan masa lalu dan jelas masih berbekas dipikirannya.
…... Waktu melintas tanpa disadari, sudah usia enam belas tahun kini. Dengan kata lain, masih berada di bangku kelas XI SMA. Sosok yang sudah banyak dikenal karena keaktifannya dalam organisasi sekolah, selain itu ia juga cukup cerdas dalam persaingan akademis. Meskipun begitu, ia masih memiliki perasaan yang dipastikan bakal menjadi pukulan balik. “Kalah sebelum bertanding”, singkatnya ia terkesan agak mudah putus asa dan disamping itu terkesan cepat mengambil keputusan.
Dalam raganya mengalir darah Ayah yang penuh percaya diri, dan tertutup perasaan khawatir sang Ibu. Banyak hal yang belum ia ketahui di sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri. Belum lagi, ia terlalu mencemaskan sesuatu dan… hal ini yang menjadi hal paling menakutkan dalam hidupnya.
“Win…,”
Ia menoleh kearah suara panggilan,
“Hei… tumben kamu sendirian ?”
“Biasa aja kok… Mmm, oh ya Nur… Ria sudah datang belum ?”
“Lho, emangnya di kelas kamu nggak ngeliat dia ?”
Agak mengernyit dahinya, ”Tasku kan masih dibahu… jelas dong aku belum masuk kelas !”
“Udah tuh… dia lagi ngobrol-ngobrol ma yang lain,”
“Hari ini nggak ada tugas, kan ?”
“Nggak ada…, sebenarnya… kamu suka kan sama dia ?”
“…Ria…?” katanya sambil memandang wajah temannya.
Ia terdiam sejenak, suasana mendadak menjadi cukup serius.
“Kenapa Win ? Maaf deh kalo pertanyaanku tadi buat kamu tersinggung…,”
“Nggak kok…, aku cuma bingung aja.”
Beberapa teman lainnya menghampiri mereka berdua, “The Five Amusement Boy’s”.
“Hei…hei, morning !” sapa Ferdi.
Tiga orang lainnya menuju kelas, Andri masih berdiri ditemani Ferdi. Sambil menunggu bel masuk berbunyi mereka berempat bercanda, hal yang paling disukai Erwin. Terkadang sampai berlebihan.
“Masuk yuk…!” ajak Andri.
Pagi yang cukup membingungkannya, seperti ada hal yang mengganjal dalam pikirannya, benaknya, bahkan… perasaannya. Sapaan Ria membuyarkan langkah lamunannya, ia balas dengan senyuman kecil. Bangkunya di belakang, ia duduk bersama dengan Eby, teman sejak masa SD dulu. Selain itu, mereka berdua membentuk “Whest”, sebuah grup band, bersama kelima rekan yang lainnya. Kini hanya mereka bertiga bersama Hilman, Tegar dan Syamsul sekolah di Karawang, Reza di Tangerang, dan Ogi pergi ke Jakarta dan menjadi montir disana membantu Ayahnya.
Lantas sebenarnya dalam benaknya kali ini tiada lain, ia bingung dengan perasaannya. Ria adalah teman yang pertama kali menamparnya, akibat masalah kecil,”ledekan”. Dari hal itu, mereka berdua selama sebulan musuhan, sampai akhirnya Erwin mengalah dan tidak ingin membuat masalah lagi dengannya. Erwin terkadang berlebihan dalam bercanda, bahkan bisa dianggap serius. Meskipun begitu, ia bisa menjadi orang yang terlalu baik. Apalagi jika ada orang yang membantunya, bisa ia balas dua kali lipat dari sebelumnya, dan bahkan bisa lebih. Ia orang yang tahu terima kasih.
Cinta pertamanya memang bukan Ria, sebelumnya ia sudah menjalin hubungan asmara, “terlarang” bersama Rahma. Perempuan yang sudah lama ia kenal sejak SD, dan beda sekolah. Hubungannya terkadang baik, tegang, sampai akhirnya ia harus mematuhi perintah sang ibu untuk memutuskan tali diantara mereka.
“Ri…,”
Ria menatapnya cukup serius, “ada apa ?”
“Aku ingin ngobrol sesuatu ama kamu… bisa?”
Balasan senyuman ia dapat, diajaknya Ria ke taman depan. Mereka hanya berdua, tidak ada rekan sekelas lain kecuali beberapa orang siswa yang sedang asyik bercanda dan ngobrol-ngobrol disana.
“Ri… ada hal kecil yang mau aku omongin,”
“Ngomong aja Win…,”
“Sebagai partner, aku sangat menghargai persahabatan diantara kita… Tapi sebenarnya… aku memendam rasa suka terhadapmu ! Maaf… banget, kalau apa yang sudah aku utarakan menyinggung kamu,…”
Ria agak menghela nafasnya, ia menatap wajah Erwin pelan.
“Mmm… Nggak apa-apa kok Win, setiap orang pasti menyimpan perasaan yang sama kayak kamu. Sebab… dulu juga aku pernah dalam kondisi seperti kamu, tapi posisi aku sebagai perempuan…”
Erwin agak tersenyum, Ria pula. Kali ini Erwin tidak ada maksud untuk mengutarakan perasaannya, ia hanya menyampaikan perasaan yang boleh dikatakan tak perlu dibalas.
*****
Berlalunya waktu seakan mengantarkan Erwin pada hal yang mulai membebaninya, ia masih belum bisa menemukan jati dirinya sebagai seorang “partner” yang berada di belakangnya. Kecurigaan beberapa orang temannya mulai menjadi, ia hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia beberapa kali mengajak Ria jalan bareng, ataupun belajar bersama.
Banyak hal yang belum ia mengerti, dan kebanyakan ia mengalah pada keadaan. Beberapa kali Ria pernah menjauhinya, tanpa penjelasan yang berarti. Sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk orang yang jelas-jelas bukan miliknya.
“Win…,” sapa Yosi mengguncang lamunan Erwin.
“Eh kamu… Yos,”
Erwin masih duduk terpaku di teras, matanya tertuju ke arah lapangan basket.
“Nggak seperti biasanya kamu seperti ini, ada apa…?”
“Nggak kok biasa aja…,”
“Ria banyak cerita…”
Erwin langsung tercengang dan menatap wajah Yosi, ia kembalikan mukanya ke tanah.
“… Maaf Win, aku nggak ada maksud buat nyinggung kamu. Aku juga belum paham dengan beberapa cerita Ria tentang kamu…, satu hal yang pasti…”
“Apa…?” potong Erwin.
“Dia ingin kamu merubah sikap kamu,…”
Yosi langsung meninggalkannya menuju kedalam kelas. Tanpa gerakan yang berarti, ia kembali tertunduk dalam kesendiriannya.
“Hei Win…! Masuk gih!” kata Andri.
“Yoi bro…, “km” kita masa di luar?” imbuh Nur.
Erwin hanya membalas dengan senyuman. Ia mengikuti saran kedua rekannya, wajahnya cukup lesu. Ia sama sekali tidak memalingkan wajah kebawah, diam seribu bahasa. Erwin yang sekarang tidak banyak tingkah. Satu demi satu pelajaran dilaluinya tanpa respon yang berarti. Pertanyaan temannya hanya dibalas dengan kata “Nggak pa-pa” atau “Biasa aja” bahkan “Lagi pengen diem aja”.
Hari yang sama sekali tidak membuatnya merasakan semangat. Satu kesempatan ia berpapasan dengan mantannya,
“Rahma…,”
“Eh… Erwin… gimana kabar ?” katanya lembut.
“Baik kok, kamu sendiri…?”
“Ya, seperti yang kamu lihat… Mmm, kamu kayaknya lagi nggak mood…”
Erwin hanya tersenyum kecil dan seperti biasa, “nggak pa-pa”. Kebetulan sekali mereka pulang satu arah, jadi seperti waktu kebersamaan dulu. Erwin menjadi cukup nyantai, ia sejenak melupakan kemelut dalam dirinya. Rahma sudah cukup berubah, dari mulai nada bicaranya yang agak tenang. Sebelumnya ia sering berceloteh, banyak mengemukakan hal yang patut dibicarakan.
Kembali dengan masanya, ia makin dekat dengan jati dirinya. Ia banyak melakukan hal yang dianggapnya menjadi proritas, tidak jarang ia belajar sampai larut malam. Setiap hari hanya melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan dengan frekuensi yang sering. Dari nge-band bareng teman-temannya, belajar setelah shalat subuh, sampai ia sendiri ikut klub basket.
Seiring waktu yang berlalu, teman-temannya mulai menyadari perubahan drastis dalam dirinya. Bahkan, Ria sendiri.
“Win…,”
Ia menengok kearah suara,
“Win, kita cabut dulu ya… !” kata Andri.
Ardi beranjak dari tempat itu, ditemani Ferdi dan Eby. Sudah cukup lama mereka ngobrol di dalam kelas yang kebetulan gurunya sedang behalangan hadir. Erwin merapihkan bukunya yang tergeletak begitu saja di atas meja, ia seakan tidak menghiraukan kehadiran seseorang yang agak menganggu kegiatannya tadi.
“Kamu, marah… Win ?”
“Terserah kata kamu… !” balasnya ketus.
Ria langsung pergi meninggalkannya, tanpa disadari mereka diawasi oleh teman-temannya.
“Win, kamu jangan gitu dong…” kata Yosi sambil menghampirinya.
“Ya kalau nggak niat ngomong, jangan kesini lagi gitu… !”
“Biar bagaimanapun juga dia pasti punya niat baik…, jangan seperti ngebales,” imbuh Nur.
Erwin hanya tersenyum kecil, ia pergi keluar. Tampak olehnya Ria menahan isak tangisnya ditemani Eby, Mell dan Wiwin. Ia berjalan berlawanan dari arah mereka, mencoba sedikit menghindar. Erwin tak mampu menahan perasaan kecewa daripadanya, meski ia masih ingat dengan perasaannya dulu padanya. Semuanya seakan hilang tak berbekas, hanya menyisakan kenangan pahit yang tak berujung.
“Win…,”
Suara itu masih belum membangunkan lamunannya. Sama seperti keadaan yang sebenarnya saat ini.
*****
Ia terhentak dengan kelinci yang menubruk kakinya. “Wah sepertinya aku terlalu banyak melamun…,” katanya dalam hati. Ia langsung merapihkan ceceran kertas tadi, cuaca disekitarnya mulai membaik. Perlahan ia membawa kelincinya kembali ke kandang, kertas-kertas itu mulai tersusun rapih dan ia biarkan tersimpan dibawah pohon tadi.
“Kakak… !”
Panggilan adiknya mulai menjauhkan dirinya dari lamunan itu. Fani namanya, 15 tahun dan ia kebetulan sekolah di tempat yang sama saat Erwin masih duduk di bangku SMA. Meski masih kelas X, prestasinya hampir mengalahkan kakaknya terutama di bidang seni. Dari mulai lomba membaca dang mengarang puisi, cerpen bahkan novelnya yang pertama hampir ia selesaikan. Tidak hanya itu, bakatnya dalam seni lukis membuatnya melenggang hingga tingkat propinsi.
“Baru pulang ?”
“Nggak kok , dari tadi… kakak akrab bener ama kelincinya.”
“Si Jimmy kan teman kakak sejak SMA,”
Fani menggendong Jimmy, dibawanya ke kandang. Sementara kakaknya malah kembali merenung, entah apa yang dipikirkannya saat ini. Sekarang ia sudah mempunyai seorang istri, satu angkatan saat kuliah dulu. ‘Riri’ begitulah namanya, lulusan fakultas keperawatan UNPAD. Sedangkan ia sendiri berencana melanjutkan studi kedokteran spesialisnya, meski sebenarnya ia sudah dapat pekerjaan di RS. Hasan Sadikin. Istrinya sendiri sama bekerja di tempat itu juga.
“Kak… ade mau nanya sesuatu nih!”
“Mmm, boleh…”
“Gini loh kak… aku habis ditembak ma cowok loh !”
Betapa terkejutnya ia oleh perkataan adiknya tadi,
“Terus…,”
“Justru itu kak, cowok itu… dulunya pernah ‘eng-engan’ ma aku. Setelah beberapa lama, kita baikan… entah mengapa selama itu… dia malah mengatakan rasa ‘suka’ dia ke aku…,”
Kembali ingatan masa lalunya yang masih menyimpan sejuta misteri dibalik cerita romantika remaja SMA.
*****
“Win…,”
“…,”
Erwin masih dalam diamnya, ia hanya merespon dengan lirikan matanya yang seakan menilai orang itu mengganggu kegiatannya saat ini.
“Sorry Mel…, aku lagi pengen sendiri…” ia berkata tanpa melihat orang yang sedang berada didekatnya.
“… Aku ngerti kok !”
Erwin membalikkan pandangan matanya sambil tersenyum kecil untuk temannya. Sore itu di lapangan yang sepi, hanya mereka berdua. Teman asrama lainnya masih sibuk antri untuk mandi, beberapa orang bermain gitar dekat mess.
“Win… aku… mau nanya sesuatu… boleh ?”
“Mmm… boleh kok,”
“Kamu… ma Ria… udah baikan?”
“…,”
“Sorry… kalau pertanyaanku tadi nyinggung…,”
Erwin kembali tersenyum, “Tenang aja… aku… udah baikan kok,” Ia pergi dari tempat itu, sambil berkata pada temannya bahwa suatu saat ia akan mengatakan hal itu ke Ria. Cepat ia melangkahkan kakinya ke tempat asrama laki-laki, tempat yang paling dekat dengan ruangan kelas XII. Tak terasa sudah delapan bulan berlalu, ia sudah duduk dibangku kelas XII. Kini ia berada di kelas yang paling ketat persaingannya, kelas khusus XII IPA 1. Ria sendiri ada di kelas XII IPA 3, masih satu lajur dengan kelasnya.
Berbeda dengan keadaan saat masih kelas XI, Erwin lebih bisa mengerti apa yang guru jelaskan. Dia jadi lebih sering belajar, terutama bareng Rara, cewek yang pernah dia suka waktu kelas X. Tapi tetap saja Erwin yang lupa, ia sama sekali tidak mampu mengingat dengan baik masa lalunya. Di kelas yang baru, ia membentuk genk kecil, Riza, Arif dan Asrul, empat cowok yang disebut The Best Four Intelligence Student. Empat orang cowok pintar yang siap bersaing menunjukkan siapa yang lebih baik, tapi tetap saja yang namanya teman tidak ada yang perlu diperdebatkan.
Malam ini seperti biasanya, anak-anak asrama belajar dibimbing guru masing-masing. Kali ini Erwin kembali satu kelas dengan Ria, lain halnya dengan dulu, mereka berdua sudah melupakan kejadian masa lalu.
“Win… ?”
“Ada apa, Ra ?”
“Hari ini… kayaknya kamu beda deh,”
“… Ah… masa ? biasa aja kok !”
“Sumpah ! Kamu jadi lebih tenang… otak kamu… malah lebih encer,” puji Rara sambil berseri. Erwin tersenyum kecil atas pujiannya. Ia sejenak melirik kearah bangku Ria, cewek itu duduk dengan tenangnya. Erwin kembali tersenyum, ia membuka buku catatannya sambil membaca beberapa materi siang tadi.
Malam ini Pak Edy menjelaskan bab matriks, bab ke sepuluh dari lima belas bab yang harus kelas XII tuntaskan sebelum menempuh ujian nasional.
“Hei…,” sapa Ria.
“Ehemmm… !” balas Rara pelan.
Erwin tersenyum kecil sambil menyenggol kaki kanan Rara yang mulai meledeknya, ia meminta teman sebangkunya untuk tidak merespon apapun. Supaya ia bisa tenang, sambil menerima materi dari Pak Edy.
Malam ini pula, tepat besok ia akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Hari yang setiap tahun tidak pernah dia rayakan, yang baginya tidak terlalu penting. Tapi, kali ini kedua orang tuanya meminta untuk merayakan bersama teman-temannya. Sebenarnya ia tetap bersikeras untuk tidak melakukannya, sebab baru pertama kali ia merayakannya sejak terakhir berumur lima tahun ia pernah merayakan ulang tahun di Taman Kanak-Kanak, karena waktu itu ia masih kecil.
“Win…,”
“Nnggg… ada apa Ra ?”
“Besok… acaranya jadi ?”
“Mmm, insya Allah… ntar liat aja deh !”
Belajar malam sudah selesai, semuanya kembali ke asrama masing-masing. Erwin masih berdiri menunggu ketiga teman genknya yang masih belajar di ruangan kelas lain, ditemani Rara.
“Win… duluan !” kata Ria tiba-tiba.
“Eh… iya…,”
Erwin sedikit gugup, ia hanya membalas kembali dengan senyuman kecil. Rara yang berada disampingnya sudah lama memperhatikan sikap Erwin sejak di kelas tadi, tampak Erwin masih menyimpan rasa sukanya pada Ria.
Kelas kedua sudah selesai, ketiga temannya menghampiri keduanya, Arif, Riza dan Asrul. Ketiganya sudah sejak SMP berteman, meskipun tidak terlalu akrab.
“Wei… duaan aja nih !?” kata Asrul sedikit menyindir.
“Ngeledek nih… atau jangan-jangan…”
“Cemburu maksud lo !!” potong Riza.
“Hah… Asrul cemburu ma aku ? Bagus dong !?” lanjut Rara
“Udah malem, bercandanya dilanjutin besok aja…”
Arif akhirnya menjadi penutup, keempat siswa itu berjalan kembali ke asrama masing-masing. Sambil berjalan, acara bercanda terus dilanjutkan.
”Srul... lu cemburu ya tadi...?” ledek Riza.
“Maksud lo...?????!!!!”
Mata Asrul mulai melotot, sementara Rara sendiri tertawa kecil melihat tingkah teman-temannya yang seperti anak kecil.
*****
Sore ini Erwin sudah sangat rapih, sebuah acara kecil di rumahnya membuat suasana mulai ramai. Tak hanya teman satu kelas yang datang, Erwin mengundang semua temannya untuk menghandiri acara Pesta Ulang Tahun yang ke-17 buatnya. Sebagai anak pertama, kedua orang tuanya begitu memperhatikan kegiatannya. Erwin sebenarnya memeliki adik yang baru berumur lima tahun dan baru masuk di sekolah Taman Kanak-Kanak, namanya Fani.
“Selamat ulang tahun ya Win…,” semua teman-teman yang diundang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, Ria juga berada disana, ia tampil sangat cantik kali ini. Erwin tersenyum manis untuknya.
“Tiup lilinnya… tiup lilinnya…!!! Semua teman Erwin langsung memintanya untuk meniup lilin sambil mengucapkan permohonan di hari ulang tahnu ya ke-17 baginya. Erwin sejenak memejamkan mata sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya, perlahan ia mulai meniup lilinnya yang berangka ‘satu’.
“Untuk angka ‘tujuh’ ini… aku serahin ama Ria untuk meniupkannya untukku…,”
‘Ehem.. ehem…’ Ria sangat terkejut mendengar permintaan Erwin. Ia merasa bingung saat ini, hanya saja teman-teman yang lain memintanya untuk menerima permintaan Erwin.
Lilin angka tujuh pun akhirnya padam, semuanya memberikan tepuk tangan yang meriah, alunan musik pop mengiringi pesta ulang tahun kali ini. Erwin mengajak Ria untuk berbincang-bincang di luar, mereka berdua duduk tenag di teras sambil membawa kue dan minuman.
“Ri… makasih ya udah datang kesini,”
“Sama-sama Win… aku cuma kaget waktu kamu minta aku untuk bantĂș niupin lilin,” kata Ria cukup malu.
“Aku mau ngomong satu hal ama kamu…,”
“Apa…??” tanya Ria sambil menatap wajah Erwin yang cerah kali ini.
“Mengenai hal yang dulu pernah aku omongin… sebelumnya, aku mau minta maaf atas semua yang pernah aku lakuin ama kamu, pernah nyakitin hati kau dan membuatmu begitu kesal karena kehadiranku,”
“Nggak kok Win… aku yang salah sama kamu… aku yang seharusnya minta maaf,”
Erwin tersenyum kecil untuknya, “Ri… kalau aku sayang sama kamu… boleh kan…??”
Ria terdiam sejenak, ia bingung untuk membalasnya. Matanya terus menatap lantai,
“Ria… mungkin aku seharusnya nggak bilang hal ini lagi ama kamu, hanya saja… aku punya sebuah keinginan untuk membahagiakan hidup orang yang aku sayangi… mungkin orang itu adalah kamu,” kata Erwin sambil menatap langit biru sore ini.
“Kamu… serius Win…??”
“Aku… serius Ri…,” jawab Erwin sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka terus terdiam sambil mendengarkan alunan musik, Ria tersenyum untuknya.
“Ya…,”
Erwin kembali menatap langit dan sesaat memejamkan matanya, lalu bangkit dan berteriak, ‘Ya…!!!’. Ria hanya melihat tingkah Erwin yang begitu bahagia, hari ini menjadi awal bagi hubungan mereka berdua. Hari-hari selanjutnya akan mereka lalui bersama dan pesta ulang tahun kali ini melengkapi kebahagiaan yang Erwin rasakan. Ria sendiri merasakan kebahagiaan yang sama karena akhirnya bisa membalas perasaan yang selama ini dipendam oleh Erwin.
*****
“De… kamu suka nggak ama dianya…?” tanya Erwin.
“Mmm… Fani sebenarnya suka kak, cuma… Fani masih belum yakin ama perasaan yang sekarang Fani rasa.”
“Katakan ‘ya’ kalau kamu sudah yakin… kakak pikir mungkin dia anak yang baik,”
“Nggak baik juga sih kak, pinter banget anaknya…,”
Erwin tersenyum untuk adiknya. Fani langsung masuk kedalam, sementara Erwin kembali merapihkan catatannya, dan juga buku diarynya yang berisi catatan perjalanan masa lalu.
Jumat, 12 Juni 2009
Semoga semuanya berjalan dengan baik... Allah mengujiku dengan berbagai tekanan mental yang semakin membuatku terdesak dan lemah namun juga menguatkanQ dengan segala kemampuan yang ada... ketika kusadar sebentar lagi kan datang waktunya... semoga semuanya berjalan dengan baik... i believe in myself...
Jumat, 05 Juni 2009
novel chapter 1
BAB I
Awan kelabu di Jatinangor…
Hidup memang sebuah tantangan dan juga kesenangan tiada akhir, bagi mereka yang mengerti akan maknanya. Setiap orang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri, serta nasibnya. Bagaimanapun juga, manusia hanya bisa berharap dan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh segalanya.
Hari ini suasana mulai sepi, tepat pukul jam sebelas malam seperti yang ditunjukkan jam tangannya. Ia terus berjalan menelusuri malam yang dingin, hanya ditemani tas yang sudah lama ia panggul. Terus saja ia mengarahkan pandangan kedepan, sesekali kendaraan sepeda motor melintas disampingnya, selain itu masih ada bus malam yang melintas.
Kota ini sudah menunjukkan keasliannya yang dulu, dimana masih ada pohon-pohon besar yang berdiri tegak dan kesepian sepanjang hari yang menyelimuti. Namun dengan sihir tangan manusia, diubahnya menjadi kawasan pendidikan dan pemukiman yang terus-menerus dilanda kemacetan, khususnya pada jam-jam kuliah mahasiswa. Ya, kini keramaian terus ada disini, kota yang menjadi primadona sebagai kawasan pendidikan dan mulai menyaingi keramaian kota Bandung, meskipun pada kenyataannya sangat sulit.
Sekian lamanya ia berjalan, dengan suara-suara hewan malam yang menemani setiap detik langkahnya, sudah tepat ia berdiri didepan sebuah bangunan,’home sweet home’, tempat tinggal sementara disini, kontrakan yang mulai membuat sejarah hidupnya yang baru.
“Assalamualaikum…!”
‘Tok…tok…tok…’ tangannya berayun dan mengetuk pintu untuk sesaat, masih belum ada balasan dari dalam, ia terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sampai salam dan ketukan yang kelima…
“Wualaikum salam…!”
Dari dalam kawannya membukakan pintu, ia langsung melepas tasnya dan ‘ditentengnya’ kedalam kemudian disimpan diatas sofa.
“Kang, malam-malam gini baru pulang ? emang dari mana?”
“Biasa Rul… tugas kuliah,”
Ia jawab datar-datar saja, kawannya hanya bisa mengangguk sambil berkata ‘Oh..’. selain mereka berdua, masih ada lima orang lagi yang mendiami rumah ini. Ridwan jurusan Kimia dari Jember, Iyan jurusan Fisika dari Kebumen, Febry jurusan Sastra Inggris dari Bandung, Herman jurusan Farmasi dari Indramayu dan Bayu jurusan Hubungan Internasional dari Indramayu, semuanya duduk di tingkat 2 kecuali Bayu yang sudah di tingkat 3. Sementara dua orang ini sama-sama dari Teknik Geologi, hanya saja Arul dari Ciamis sedangkan Ihsan orang yang paling senior diantara mereka berasal dari Indramayu, yang terus disibukkan dengan tugas lapangannya. Maklum, ia satu-satunya mahasiswa Geologi yang belum sidang. Padahal teman-teman yang lain sudah selesai dengan sidangnya, bahkan ada yang sudah ditempatkan di perusahaan pertambangan maupun perminyakan.
Sudah lebih dari lima tahun ia berada disini, sampai lupa kalau sudah waktunya ia berpisah dengan almamater yang membesarkan namanya dan memberinya banyak hal melalui dosen pembimbing serta senior-seniornya. Kalau diingat ingin rasanya ia menertawakan dirinya ketika masa ‘mabim’ dulu, saat itu sungguh berdebar rasanya kalau bertemu dengan senior-senior yang ‘galak’ bin ‘sadis’.
“Astaghfirullah…,” Ia langsung bangkit dari lamunannya, merebahkan tubuh diatas sofa sambil mengusap mukanya yang penuh dengan rasa kelelahan.
“Kang, ini diminum dulu…” Arul datang dengan membawa secangkir teh hangat, ia pun segera bangkit.
“Ah, jadi ngerepotin kamu nih… ngomong-ngomong jam segini masih belum tidur, emang ada tugas ?”
“Nggak juga kok, habis baca-baca buku trus main ‘game’ juga…”
“Kamu tuh kebiasaan main game… kurangin dong mainnya !”
“Iya kang, tapi… kalo buat rileks sih nggak salah kan ??? Hehehe…”
“Terserah kamu aja, kuliah kamu gimana ?”
“Biasa-biasa aja kok… oh ya kang, punya bahan buat referensi Petrologi ga ? Ada tugas dari dosen nih…”
“Ada… kamu masuk ke kamar saja, ntar buka foldernya di D… trus cari folder bahan kuliah, kalau buku-bukunya kamu cari saja di rak…,”
Setelah mengambil kunci kamar kakak tingkatnya ia langsung bergerak mencari, sementara Ihsan kembali merebahkan tubuhnya diatas sofa, perlahan matanya mulai terpejam dan terlarut dalam mimpi malam ini.
*****
Masih dengan suasana malam, kali ini kesepian menyelimuti tempat yang lain, hanya terdengar suara perempuan melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Hal yang sudah biasa dilakukan Nisa, mahasiswi tingkat 3 Fakultas Psikologi, di waktu malam sebelum tidur adalah membaca mushaf. Perempuan yang selalu tenang, bawaannya yang ‘kalem’, selain itu dia orang yang cukup cerdas diantara teman-teman yang lain. Beberapa hal yang diantaranya membuat seorang Ihsan menyukainya. Awalnya mereka berdua bertemu dalam kegiatan Islamic Day, perkenalan diantara mereka kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali perbincangan dan diskusi keagamaan.
Sudah tepat jam dua belas malam, ia pun sudah selesai membaca mushafnya. ‘Alhamdulillah…’ ia langsung merapihkan beberapa buku yang hendak dibawa kuliah besok pagi. Pandangannya sedikit terarah pada ponselnya, 1 pesan muncul di layar, pesan yang seharusnya ia baca beberapa jam yang lalu,
“Assalamualaikum…, Nis besok kamu da kegiatan nggak??? Kalo nggak ada, ntar Akang jemput kamu didepan kampus,,akang mau ngajak kamu ke Gramedia,,syukron…”
‘Astagfirullah…,’ ia lupa membaca pesan dari Ihsan karena mensilent Hpnya, kebetulan mala mini ia harus menyelesaikan tugas buat besok jadi ia ingin konsentrasi menyelesaikannya. Cepat ia membalas isi pesan tadi, kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata.
Sama halnya dengan Ihsan, ia pun menyewa sebuah kontrakan, bersama keempat teman yang lain. Sarah jurusan Matematika dari Garut, Fani dan Oppie sama-sama dari Cirebon juga kuliah di Fakultas Keperawatan, ketiganya sudah tingkat 3, sama dengan Nisa. Dan yang terakhir Dian yang baru masuk, kuliah di jurusan Farmasi, adik perempuan satu-satunya Bayu teman satu rumah Ihsan. Bayu sengaja menitipkan Dian ke Nisa, maksudnya supaya ada yang mengontrol kegiatan sehari-harinya, bahkan Nisa sendiri merasa cukup senang dengan kehadiran Dian. Anaknya yang kalem, pintar lagi, bahkan sempat terdengar kabar kalau Herman menyukainya.
‘Tok… tok… tok’ suara pintu menggugahnya, ia kembali bangkit dari perbaringannya, “Siapa…?”
“Aku Teh…, Dian…”
“Masuk aja… nggak dikunci!”
Nisa akhirnya tidak jadi memejamkan mata, agaknya ada sesuatu yang hendak diperbincangkan malam ini.
“Teh, ada sesuatu yang ingin aku omongin… tapi ntar ngeganggu istirahat Teteh malam ini ga? Afwan…,”
“Mmm…, nggak pa-pa kok, Teteh juga belum tidur. Tumben malam-malam gini mau ngobrol ?”
“Teh… sebenarnya… aduh gimana ya ??? Jadi bingung mau ngomong apaan, tapi…”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, ia meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Dian.
“Katakan yang hendak ade bilang… Teteh nggak selamanya bisa ngebantu kamu, tapi akan teteh usahain kalo bisa…”
Dian mulai tersenyum, tapi sebenarnya ia masih ragu untuk membicarakannya sekarang. Tapi hatinya menyuruh untuk segera mengatakannya.
Sepertinya malam ini ada curhatan yang hendak dibicarakan.
“Teh… sebenarnya… aku mau nanya tentang Her…man…,” Dimata Nisa tersirat perasaan malu yang disimpan Dian, ia pun hanya bisa kembali tersenyum.
“Herman itu baik…, kalo mau tau lebih banyak, bilang aja sama kakakmu Bayu…”
“… Ah, nggak deh kalo ama mas Bayu sih… ! dia jarang ngeladenin aku dan terlalu fokus ama kuliahnya…,”
“Ya udah kalo gitu, kamu… ngomong panjang lebar aja ama kang Ihsan,”
Dian mulai diam dan mengangguk, sepertinya ia mulai paham maksud Nisa. Tapi…
“Teh… ntar nitip sesuatu nggak ke kang Ihsan seandainya ntar aku ngobrol-ngobrol ma dia ??”
“… maksudnya ?”
“Ih… teteh berlagak nggak paham maksud Dian, bukannya…”
Nisa langsung memotong pembicaraan Dian, kedua jari tangan kanannya menutup mulut Dian. Ia mulai terdiam, sementara Dian terus memperhatikan sikap Nisa yang mulai aneh.
“Ya udah teh… malam ini cukup sampai disini ngobrolnya, aku kembali ke kamar aja. Maaf banget ya kalo malam ini Dian udah buat tetah kesel…,”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, “Nggak apa-apa…”
Dian langsung beranjak menuju kamarnya, perlahan ia membuka pintu kamar Nisa dan menghilang ke ruangan lain di rumah itu. Nisa masih belum berbaring, ia tetap saja terdiam untuk beberapa saat. Ia pun meraih selimutnya dan mulai merebahkan tubuh diatas tempat tidurnya. Perkataan Dian barusan menyentuh hatinya, sama sekali tidak ia sangka bahwa juniornya akan mengatakan demikian.
Sebenarnya ia memendam perasaan untuk Ihsan, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini ia fokuskan untuk kuliah dan segera menyelesaikan S1-nya, kemudian mengambil langkah selanjutnya. Konsentrasinya mulai sedikit buyar beberapa bulan ini. Tiga bulan yang lalu keluarganya mengatakan bahwa ada yang hendak melamarnya, seorang lulusan ITB, orang yang bahkan Ihsan kenal sekali. Agaknya ia masih belum mau menjawab, kendati sang pelamar tetap memberi kebebasan baginya menyelesaikan studi sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan.
‘Kang…, seandainya kamu ada disini lalu mendengar semua kenyataan yang terjadi, lantas… apa yang hendak akang lakukan ???’
Rasa gelisah membuatnya susah untuk tidur, ia hanya mampu menyerahkan keadaan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Zat Maha Agung tempat ia selama ini berserah diri. Entah apa yang akan terjadi besok, yang pasti malam ini bukan hanya dia yang susah tertidur. Ihsan sepertinya terbangun dan entah sebabnya mengapa, di kedua tempat yang berbeda menyiratkan aura yang ingin mempersatukan antara keduanya.
Nisa sulit untuk memejamkan mata, sementara jauh disana, Ihsan terbangun dan duduk termenung diatas sofa yang baru setengah jam lebih ia tempati. Rasanya malam ini kerumitan melanda keduanya, tapi entah bagaimana kelanjutan esok hari, yang pasti para malaikat memperhatikan sikap keduanya malam ini.
*****
Pagi ini awan mendung mulai menyelimuti seisi kota Jatinangor, namun semangat mahasiswa untuk datang ke kampus masih belum pudar. Terutama mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India, lantas dimanakah mahasiswa Indonesia ???
Sepertinya kehangatan selimut masih membalut tidur lelap mereka, disisi lain ada juga beberapa diantaranya yang sudah tenang membaca buku di teras. Pagi ini Bayu sudah bersiap berangkat kendati waktu masih menunjukkan pukul 07.05 WIB, sambil membaca buku ia mendengarkan kicau burung yang hinggap di atap-atap kos-kosan yang dekat dengan kontrakan mereka. Didalam sana Febry, Iyan dan Herman menyiapkan sarapan pagi ini. Menu sarapan biasa ala mahasiswa, telur mata sapi ditambah teh manis hangat yang hampir tiap pagi mereka rasakan.
Ihsan masih belum bangun dari tidurnya, setelah shalat subuh ia kembali memejamkan matanya dan tertidur diatas sajadah.
“Wan… Kang Ihsan kok tumben belum keluar ?” tanya Bayu.
“Waduh nggak tau juga tuh kang, tapi… ntar aku bangunin deh !”
Ridwan bergegas kembali kedalam, setelah menyimpan sapu ia langsung menuju kamar Ihsan. ‘Tok… tok… tok…’
“Wan, jangan ganggu istirahat kang Ihsan… mungkin dia kecapean…” potong Arul yang tiba-tiba berada disana.
“Lho… tumben kamu ada didekat sini ? Bukannya sekarang giliran kamu menyapu halaman…?”
“Ini juga mau ngerjain, tadi habis dari WC… semalam kang Ihsan baru pulang dan sepertinya habis ngerjain tugas yang berat, jadi… biarkan saja dia istirahat.”
Mereka berdua akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing pagi ini, dari dapur sendiri sarapan sudah siap, koki-koki pria sudah siap dengan sarapan yang dihidangkan di meja makan.
“Alhamdulillah…,” papar Iyan.
“Oke… kita makan !!!” sahut Herman dengan semangat. Semua sudah siap pagi ini, kecuali Ihsan yang masih tertidur lelap. Bayu segera menutup bukunya dan menuju meja makan,
“Kang Ihsan mana ?”
“Bener juga kamu Feb, oh ya… Rul, kang Ihsan sudah bangun ?”
“Belum kang… paling sebentar lagi juga bangun,”
“Nah, sekarang kita makan !!!” potong Iyan.
Pagi ini bukan hanya disini yang berbahagia dengan sarapan, di tempat lain pun demikian, sama seperti dengan beberapa tempat lain terutama para penjaja sarapan pagi yang sudah berjualan untuk menyiapkan sarapan pagi khususnya untuk mahasiswa.
Kali ini Ihsan mulai membuka matanya, perlahan ia bangkit dari sajadahnya, mengusap kedua mata dan duduk tenang.
“Astagfirullah… aku sudah tidur terlalu lama,”
Ia melirik kearah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Langsung ia bangkit dan mengambil handphone, sebuah pesan tertera pada layar.
“Wualaikum salam,,, afwan kang ru bales… afwan juga kalo permintaan akang tidak bisa aku penuhi. Besok ada kerja kelompok bareng temen-temen… mungkin lain kali aku bisa penuhin,,afwan banget…”
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia langsung pergi keluar dari kamarnya. Menuju kamar mandi dan mencuci mukanya, dari ruang makan terdengar anggota rumah yang lain sedang memperbincangkan sesuatu.
“Hmm… ngomong-ngomong Herman kayaknya lagi nyimpen sesuatu dari kita nih,”
Sindiran Iyan mulai mengganggu sarapannya pagi ini, sementara yang lain mulai memandanginya seksama.
“Nah lho…, kok pada curigain aku sih ??! Lagian… kamu lagi Yan, ngomong kok malah ngelantur !?”
“Assalamualaikum…!!!”
“Wualaikum salam !!!” jawab mereka serempak. Kali ini semua anggota sudah lengkap, kang Ihsan sudah terjaga dan bergabung bersama mereka.
“Waduh… akang kita sudah bangun nih!” papar Herman.
“Mmm… ngomong-ngomong ada apa dengan si Herman nih? Kalo nggak salah, akang sempat ngutip pembicaraan kalian tadi…”
“Jadi…”
‘Duk…!!!’ kaki Herman menendang kaki Iyan, membuat temannya terpotong untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara yang lain seolah termakan sikap Herman yang menginginkan mereka semua untuk tidak angkat bicara.
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia mengambil tempat duduk disamping bangku Herman yang kosong.
“Jadi… ada rahasia nih ??!”
“Ya udah… sekarang yang penting kita semua sarapan, oke!!!”
Bayu langsung mengambil alih suasana, sementara Ihsan hanya bisa tersenyum. Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat, diluar sana arus kendaraan mulai memadat terutama kendaraan mahasiswa. Hari ini Ihsan tidak ada rencana untuk kuliah, dan ia tinggal sendiri apabila semua teman sekontrakannya pergi ke kampus.
“Oh ya kang, hari ini ada rencana kemana ?” tanya Herman.
“Mmm… paling disini saja, tapi ntar kalo bosen juga pergi ke Bandung…”
“Sama Teh Nisa…?!” potong Arul.
“Hus !!!” mata Febry tertuju penuh kearah Arul, yang lainnya agak terkejut dengan apa yang tadi Arul ‘celetuk’. Suasana mulai agak berubah,
“Kang… afwan ya yang tadi,”
Ihsan tersenyum, “Nyantai aja…” sarapan paginya agak dipercepat, ia memegang bahu kanan Herman.
“Oke… akang duluan ya, mau jalan-jalan sebentar !”
Ihsan langsung meminum air di gelasnya, selanjutnya ia bangkit dan tersenyum kemudian mengucapkan salam.
Semua pandangan tertuju tajam kearah Arul, terutama Bayu.
“Rul… kamu kurang ajar banget sih!!” suara Iyan cukup keras, sedikit terdengar oleh telinga Ihsan yang sudah cukup jauh dari pintu depan. Ia kembali melangkah dan tidak tahu apa yang sedang terjadi didalam.
“Sudah, cukup !!! Sekarang kita jangan membahas masalah itu lagi… kang Ihsan tidak akan marah, yang penting kesalahan kamu jangan diulangin lagi ya, Rul…!!!”
Bayu berusaha untuk meredakan ketegangan di ruang makan itu, semuanya beristighfar dan memohon ampun atas segala yang mereka lakukan pagi ini. Terutama Arul yang merasa sangat bersalah atas kejadian pagi ini. Selanjutnya mereka pergi ke kampus bersama, kampus tercinta Universitas Padjadjaran.
*****
Langkah kaki Ihsan sepertinya menuju kampus, jalanan sudah dipenuhi kendaraan. Ia terus melangkah dan akhirnya sampai di depan gerbang. Matanya tertuju pada sebuah koran, ‘Top Skor’. Hari ini Jum’at, ia sudah terbiasa membeli koran olahraga pada hari ini tiap minggunya.
Hujan rintik-rintik membuatnya merapat pada sebuah tempat ‘fotocopy’ disamping daerah gerbang, bersama seorang perempuan ia berteduh sesaat sambil membaca korannya.
“Kang Ihsan…,”
Ia menoleh kearah suara yang memanggilnya,
“Assalamualaikum…”
“Wualaikum salam, eh… kamu Dian. Kok sendirian aja ?”
“Iya nih, Teh Nisa tadi buru-buru berangkatnya. Terus yang lain nggak ada jadwal kuliah pagi ini, jadi… ya sendirian deh,”
Ihsan hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangan ke berita olahraga, jadwal pertandingan sepakbola untuk Minggu sekarang. Sementara Dian memeriksa tasnya dan melihat keadaan sekitar yang mulai turun hujan yang cukup deras, ia meraih kantung plastik dan mengeluarkan payung dari dalamnya.
“Kang… aku berangkat dulu ya, assalamualaikum!”
“Wualaikum salam…,”
Dian langsung beranjak dari tempat itu, ia berjalan berlindung dari payungnya. Ihsan kembali membaca. Sesaat ia memperhatikan Dian pagi ini, ‘Betapa beruntungnya Bayu memiliki adik seperti dia…,’ gumamnya dalam hati. Penampilan Dian sangat cantik pagi ini, bahkan menurutnya lebih cantik dari hari biasanya yang pernah ia temui. Penampilan muslimnya memang tidak mengikuti mode Islami seperti yang biasa dilakukan mahasiswi berjilbab pada umumnya. Tapi ia lebih condong kearah busana muslim seorang perempuan, seperti yang biasa dikenakan Nisa, perempuan yang agaknya ia sukai.
‘Astaghfirullah…’ ia cukup terlena setelah melihat penampilan Dian, matanya tertuju kearah langit pagi ini. ‘Ya Allah semoga engkau memberikan yang terbaik bagi hamba-Mu… Dan… memberikan tempat terbaik bagi ayah hamba-Mu, amin…’
Air matanya mulai jatuh, ia berusaha menghilangkan kesedihan agar tidak tampak di depan umum.
Awan kelabu di Jatinangor…
Hidup memang sebuah tantangan dan juga kesenangan tiada akhir, bagi mereka yang mengerti akan maknanya. Setiap orang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri, serta nasibnya. Bagaimanapun juga, manusia hanya bisa berharap dan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh segalanya.
Hari ini suasana mulai sepi, tepat pukul jam sebelas malam seperti yang ditunjukkan jam tangannya. Ia terus berjalan menelusuri malam yang dingin, hanya ditemani tas yang sudah lama ia panggul. Terus saja ia mengarahkan pandangan kedepan, sesekali kendaraan sepeda motor melintas disampingnya, selain itu masih ada bus malam yang melintas.
Kota ini sudah menunjukkan keasliannya yang dulu, dimana masih ada pohon-pohon besar yang berdiri tegak dan kesepian sepanjang hari yang menyelimuti. Namun dengan sihir tangan manusia, diubahnya menjadi kawasan pendidikan dan pemukiman yang terus-menerus dilanda kemacetan, khususnya pada jam-jam kuliah mahasiswa. Ya, kini keramaian terus ada disini, kota yang menjadi primadona sebagai kawasan pendidikan dan mulai menyaingi keramaian kota Bandung, meskipun pada kenyataannya sangat sulit.
Sekian lamanya ia berjalan, dengan suara-suara hewan malam yang menemani setiap detik langkahnya, sudah tepat ia berdiri didepan sebuah bangunan,’home sweet home’, tempat tinggal sementara disini, kontrakan yang mulai membuat sejarah hidupnya yang baru.
“Assalamualaikum…!”
‘Tok…tok…tok…’ tangannya berayun dan mengetuk pintu untuk sesaat, masih belum ada balasan dari dalam, ia terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sampai salam dan ketukan yang kelima…
“Wualaikum salam…!”
Dari dalam kawannya membukakan pintu, ia langsung melepas tasnya dan ‘ditentengnya’ kedalam kemudian disimpan diatas sofa.
“Kang, malam-malam gini baru pulang ? emang dari mana?”
“Biasa Rul… tugas kuliah,”
Ia jawab datar-datar saja, kawannya hanya bisa mengangguk sambil berkata ‘Oh..’. selain mereka berdua, masih ada lima orang lagi yang mendiami rumah ini. Ridwan jurusan Kimia dari Jember, Iyan jurusan Fisika dari Kebumen, Febry jurusan Sastra Inggris dari Bandung, Herman jurusan Farmasi dari Indramayu dan Bayu jurusan Hubungan Internasional dari Indramayu, semuanya duduk di tingkat 2 kecuali Bayu yang sudah di tingkat 3. Sementara dua orang ini sama-sama dari Teknik Geologi, hanya saja Arul dari Ciamis sedangkan Ihsan orang yang paling senior diantara mereka berasal dari Indramayu, yang terus disibukkan dengan tugas lapangannya. Maklum, ia satu-satunya mahasiswa Geologi yang belum sidang. Padahal teman-teman yang lain sudah selesai dengan sidangnya, bahkan ada yang sudah ditempatkan di perusahaan pertambangan maupun perminyakan.
Sudah lebih dari lima tahun ia berada disini, sampai lupa kalau sudah waktunya ia berpisah dengan almamater yang membesarkan namanya dan memberinya banyak hal melalui dosen pembimbing serta senior-seniornya. Kalau diingat ingin rasanya ia menertawakan dirinya ketika masa ‘mabim’ dulu, saat itu sungguh berdebar rasanya kalau bertemu dengan senior-senior yang ‘galak’ bin ‘sadis’.
“Astaghfirullah…,” Ia langsung bangkit dari lamunannya, merebahkan tubuh diatas sofa sambil mengusap mukanya yang penuh dengan rasa kelelahan.
“Kang, ini diminum dulu…” Arul datang dengan membawa secangkir teh hangat, ia pun segera bangkit.
“Ah, jadi ngerepotin kamu nih… ngomong-ngomong jam segini masih belum tidur, emang ada tugas ?”
“Nggak juga kok, habis baca-baca buku trus main ‘game’ juga…”
“Kamu tuh kebiasaan main game… kurangin dong mainnya !”
“Iya kang, tapi… kalo buat rileks sih nggak salah kan ??? Hehehe…”
“Terserah kamu aja, kuliah kamu gimana ?”
“Biasa-biasa aja kok… oh ya kang, punya bahan buat referensi Petrologi ga ? Ada tugas dari dosen nih…”
“Ada… kamu masuk ke kamar saja, ntar buka foldernya di D… trus cari folder bahan kuliah, kalau buku-bukunya kamu cari saja di rak…,”
Setelah mengambil kunci kamar kakak tingkatnya ia langsung bergerak mencari, sementara Ihsan kembali merebahkan tubuhnya diatas sofa, perlahan matanya mulai terpejam dan terlarut dalam mimpi malam ini.
*****
Masih dengan suasana malam, kali ini kesepian menyelimuti tempat yang lain, hanya terdengar suara perempuan melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Hal yang sudah biasa dilakukan Nisa, mahasiswi tingkat 3 Fakultas Psikologi, di waktu malam sebelum tidur adalah membaca mushaf. Perempuan yang selalu tenang, bawaannya yang ‘kalem’, selain itu dia orang yang cukup cerdas diantara teman-teman yang lain. Beberapa hal yang diantaranya membuat seorang Ihsan menyukainya. Awalnya mereka berdua bertemu dalam kegiatan Islamic Day, perkenalan diantara mereka kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali perbincangan dan diskusi keagamaan.
Sudah tepat jam dua belas malam, ia pun sudah selesai membaca mushafnya. ‘Alhamdulillah…’ ia langsung merapihkan beberapa buku yang hendak dibawa kuliah besok pagi. Pandangannya sedikit terarah pada ponselnya, 1 pesan muncul di layar, pesan yang seharusnya ia baca beberapa jam yang lalu,
“Assalamualaikum…, Nis besok kamu da kegiatan nggak??? Kalo nggak ada, ntar Akang jemput kamu didepan kampus,,akang mau ngajak kamu ke Gramedia,,syukron…”
‘Astagfirullah…,’ ia lupa membaca pesan dari Ihsan karena mensilent Hpnya, kebetulan mala mini ia harus menyelesaikan tugas buat besok jadi ia ingin konsentrasi menyelesaikannya. Cepat ia membalas isi pesan tadi, kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata.
Sama halnya dengan Ihsan, ia pun menyewa sebuah kontrakan, bersama keempat teman yang lain. Sarah jurusan Matematika dari Garut, Fani dan Oppie sama-sama dari Cirebon juga kuliah di Fakultas Keperawatan, ketiganya sudah tingkat 3, sama dengan Nisa. Dan yang terakhir Dian yang baru masuk, kuliah di jurusan Farmasi, adik perempuan satu-satunya Bayu teman satu rumah Ihsan. Bayu sengaja menitipkan Dian ke Nisa, maksudnya supaya ada yang mengontrol kegiatan sehari-harinya, bahkan Nisa sendiri merasa cukup senang dengan kehadiran Dian. Anaknya yang kalem, pintar lagi, bahkan sempat terdengar kabar kalau Herman menyukainya.
‘Tok… tok… tok’ suara pintu menggugahnya, ia kembali bangkit dari perbaringannya, “Siapa…?”
“Aku Teh…, Dian…”
“Masuk aja… nggak dikunci!”
Nisa akhirnya tidak jadi memejamkan mata, agaknya ada sesuatu yang hendak diperbincangkan malam ini.
“Teh, ada sesuatu yang ingin aku omongin… tapi ntar ngeganggu istirahat Teteh malam ini ga? Afwan…,”
“Mmm…, nggak pa-pa kok, Teteh juga belum tidur. Tumben malam-malam gini mau ngobrol ?”
“Teh… sebenarnya… aduh gimana ya ??? Jadi bingung mau ngomong apaan, tapi…”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, ia meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Dian.
“Katakan yang hendak ade bilang… Teteh nggak selamanya bisa ngebantu kamu, tapi akan teteh usahain kalo bisa…”
Dian mulai tersenyum, tapi sebenarnya ia masih ragu untuk membicarakannya sekarang. Tapi hatinya menyuruh untuk segera mengatakannya.
Sepertinya malam ini ada curhatan yang hendak dibicarakan.
“Teh… sebenarnya… aku mau nanya tentang Her…man…,” Dimata Nisa tersirat perasaan malu yang disimpan Dian, ia pun hanya bisa kembali tersenyum.
“Herman itu baik…, kalo mau tau lebih banyak, bilang aja sama kakakmu Bayu…”
“… Ah, nggak deh kalo ama mas Bayu sih… ! dia jarang ngeladenin aku dan terlalu fokus ama kuliahnya…,”
“Ya udah kalo gitu, kamu… ngomong panjang lebar aja ama kang Ihsan,”
Dian mulai diam dan mengangguk, sepertinya ia mulai paham maksud Nisa. Tapi…
“Teh… ntar nitip sesuatu nggak ke kang Ihsan seandainya ntar aku ngobrol-ngobrol ma dia ??”
“… maksudnya ?”
“Ih… teteh berlagak nggak paham maksud Dian, bukannya…”
Nisa langsung memotong pembicaraan Dian, kedua jari tangan kanannya menutup mulut Dian. Ia mulai terdiam, sementara Dian terus memperhatikan sikap Nisa yang mulai aneh.
“Ya udah teh… malam ini cukup sampai disini ngobrolnya, aku kembali ke kamar aja. Maaf banget ya kalo malam ini Dian udah buat tetah kesel…,”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, “Nggak apa-apa…”
Dian langsung beranjak menuju kamarnya, perlahan ia membuka pintu kamar Nisa dan menghilang ke ruangan lain di rumah itu. Nisa masih belum berbaring, ia tetap saja terdiam untuk beberapa saat. Ia pun meraih selimutnya dan mulai merebahkan tubuh diatas tempat tidurnya. Perkataan Dian barusan menyentuh hatinya, sama sekali tidak ia sangka bahwa juniornya akan mengatakan demikian.
Sebenarnya ia memendam perasaan untuk Ihsan, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini ia fokuskan untuk kuliah dan segera menyelesaikan S1-nya, kemudian mengambil langkah selanjutnya. Konsentrasinya mulai sedikit buyar beberapa bulan ini. Tiga bulan yang lalu keluarganya mengatakan bahwa ada yang hendak melamarnya, seorang lulusan ITB, orang yang bahkan Ihsan kenal sekali. Agaknya ia masih belum mau menjawab, kendati sang pelamar tetap memberi kebebasan baginya menyelesaikan studi sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan.
‘Kang…, seandainya kamu ada disini lalu mendengar semua kenyataan yang terjadi, lantas… apa yang hendak akang lakukan ???’
Rasa gelisah membuatnya susah untuk tidur, ia hanya mampu menyerahkan keadaan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Zat Maha Agung tempat ia selama ini berserah diri. Entah apa yang akan terjadi besok, yang pasti malam ini bukan hanya dia yang susah tertidur. Ihsan sepertinya terbangun dan entah sebabnya mengapa, di kedua tempat yang berbeda menyiratkan aura yang ingin mempersatukan antara keduanya.
Nisa sulit untuk memejamkan mata, sementara jauh disana, Ihsan terbangun dan duduk termenung diatas sofa yang baru setengah jam lebih ia tempati. Rasanya malam ini kerumitan melanda keduanya, tapi entah bagaimana kelanjutan esok hari, yang pasti para malaikat memperhatikan sikap keduanya malam ini.
*****
Pagi ini awan mendung mulai menyelimuti seisi kota Jatinangor, namun semangat mahasiswa untuk datang ke kampus masih belum pudar. Terutama mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India, lantas dimanakah mahasiswa Indonesia ???
Sepertinya kehangatan selimut masih membalut tidur lelap mereka, disisi lain ada juga beberapa diantaranya yang sudah tenang membaca buku di teras. Pagi ini Bayu sudah bersiap berangkat kendati waktu masih menunjukkan pukul 07.05 WIB, sambil membaca buku ia mendengarkan kicau burung yang hinggap di atap-atap kos-kosan yang dekat dengan kontrakan mereka. Didalam sana Febry, Iyan dan Herman menyiapkan sarapan pagi ini. Menu sarapan biasa ala mahasiswa, telur mata sapi ditambah teh manis hangat yang hampir tiap pagi mereka rasakan.
Ihsan masih belum bangun dari tidurnya, setelah shalat subuh ia kembali memejamkan matanya dan tertidur diatas sajadah.
“Wan… Kang Ihsan kok tumben belum keluar ?” tanya Bayu.
“Waduh nggak tau juga tuh kang, tapi… ntar aku bangunin deh !”
Ridwan bergegas kembali kedalam, setelah menyimpan sapu ia langsung menuju kamar Ihsan. ‘Tok… tok… tok…’
“Wan, jangan ganggu istirahat kang Ihsan… mungkin dia kecapean…” potong Arul yang tiba-tiba berada disana.
“Lho… tumben kamu ada didekat sini ? Bukannya sekarang giliran kamu menyapu halaman…?”
“Ini juga mau ngerjain, tadi habis dari WC… semalam kang Ihsan baru pulang dan sepertinya habis ngerjain tugas yang berat, jadi… biarkan saja dia istirahat.”
Mereka berdua akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing pagi ini, dari dapur sendiri sarapan sudah siap, koki-koki pria sudah siap dengan sarapan yang dihidangkan di meja makan.
“Alhamdulillah…,” papar Iyan.
“Oke… kita makan !!!” sahut Herman dengan semangat. Semua sudah siap pagi ini, kecuali Ihsan yang masih tertidur lelap. Bayu segera menutup bukunya dan menuju meja makan,
“Kang Ihsan mana ?”
“Bener juga kamu Feb, oh ya… Rul, kang Ihsan sudah bangun ?”
“Belum kang… paling sebentar lagi juga bangun,”
“Nah, sekarang kita makan !!!” potong Iyan.
Pagi ini bukan hanya disini yang berbahagia dengan sarapan, di tempat lain pun demikian, sama seperti dengan beberapa tempat lain terutama para penjaja sarapan pagi yang sudah berjualan untuk menyiapkan sarapan pagi khususnya untuk mahasiswa.
Kali ini Ihsan mulai membuka matanya, perlahan ia bangkit dari sajadahnya, mengusap kedua mata dan duduk tenang.
“Astagfirullah… aku sudah tidur terlalu lama,”
Ia melirik kearah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Langsung ia bangkit dan mengambil handphone, sebuah pesan tertera pada layar.
“Wualaikum salam,,, afwan kang ru bales… afwan juga kalo permintaan akang tidak bisa aku penuhi. Besok ada kerja kelompok bareng temen-temen… mungkin lain kali aku bisa penuhin,,afwan banget…”
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia langsung pergi keluar dari kamarnya. Menuju kamar mandi dan mencuci mukanya, dari ruang makan terdengar anggota rumah yang lain sedang memperbincangkan sesuatu.
“Hmm… ngomong-ngomong Herman kayaknya lagi nyimpen sesuatu dari kita nih,”
Sindiran Iyan mulai mengganggu sarapannya pagi ini, sementara yang lain mulai memandanginya seksama.
“Nah lho…, kok pada curigain aku sih ??! Lagian… kamu lagi Yan, ngomong kok malah ngelantur !?”
“Assalamualaikum…!!!”
“Wualaikum salam !!!” jawab mereka serempak. Kali ini semua anggota sudah lengkap, kang Ihsan sudah terjaga dan bergabung bersama mereka.
“Waduh… akang kita sudah bangun nih!” papar Herman.
“Mmm… ngomong-ngomong ada apa dengan si Herman nih? Kalo nggak salah, akang sempat ngutip pembicaraan kalian tadi…”
“Jadi…”
‘Duk…!!!’ kaki Herman menendang kaki Iyan, membuat temannya terpotong untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara yang lain seolah termakan sikap Herman yang menginginkan mereka semua untuk tidak angkat bicara.
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia mengambil tempat duduk disamping bangku Herman yang kosong.
“Jadi… ada rahasia nih ??!”
“Ya udah… sekarang yang penting kita semua sarapan, oke!!!”
Bayu langsung mengambil alih suasana, sementara Ihsan hanya bisa tersenyum. Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat, diluar sana arus kendaraan mulai memadat terutama kendaraan mahasiswa. Hari ini Ihsan tidak ada rencana untuk kuliah, dan ia tinggal sendiri apabila semua teman sekontrakannya pergi ke kampus.
“Oh ya kang, hari ini ada rencana kemana ?” tanya Herman.
“Mmm… paling disini saja, tapi ntar kalo bosen juga pergi ke Bandung…”
“Sama Teh Nisa…?!” potong Arul.
“Hus !!!” mata Febry tertuju penuh kearah Arul, yang lainnya agak terkejut dengan apa yang tadi Arul ‘celetuk’. Suasana mulai agak berubah,
“Kang… afwan ya yang tadi,”
Ihsan tersenyum, “Nyantai aja…” sarapan paginya agak dipercepat, ia memegang bahu kanan Herman.
“Oke… akang duluan ya, mau jalan-jalan sebentar !”
Ihsan langsung meminum air di gelasnya, selanjutnya ia bangkit dan tersenyum kemudian mengucapkan salam.
Semua pandangan tertuju tajam kearah Arul, terutama Bayu.
“Rul… kamu kurang ajar banget sih!!” suara Iyan cukup keras, sedikit terdengar oleh telinga Ihsan yang sudah cukup jauh dari pintu depan. Ia kembali melangkah dan tidak tahu apa yang sedang terjadi didalam.
“Sudah, cukup !!! Sekarang kita jangan membahas masalah itu lagi… kang Ihsan tidak akan marah, yang penting kesalahan kamu jangan diulangin lagi ya, Rul…!!!”
Bayu berusaha untuk meredakan ketegangan di ruang makan itu, semuanya beristighfar dan memohon ampun atas segala yang mereka lakukan pagi ini. Terutama Arul yang merasa sangat bersalah atas kejadian pagi ini. Selanjutnya mereka pergi ke kampus bersama, kampus tercinta Universitas Padjadjaran.
*****
Langkah kaki Ihsan sepertinya menuju kampus, jalanan sudah dipenuhi kendaraan. Ia terus melangkah dan akhirnya sampai di depan gerbang. Matanya tertuju pada sebuah koran, ‘Top Skor’. Hari ini Jum’at, ia sudah terbiasa membeli koran olahraga pada hari ini tiap minggunya.
Hujan rintik-rintik membuatnya merapat pada sebuah tempat ‘fotocopy’ disamping daerah gerbang, bersama seorang perempuan ia berteduh sesaat sambil membaca korannya.
“Kang Ihsan…,”
Ia menoleh kearah suara yang memanggilnya,
“Assalamualaikum…”
“Wualaikum salam, eh… kamu Dian. Kok sendirian aja ?”
“Iya nih, Teh Nisa tadi buru-buru berangkatnya. Terus yang lain nggak ada jadwal kuliah pagi ini, jadi… ya sendirian deh,”
Ihsan hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangan ke berita olahraga, jadwal pertandingan sepakbola untuk Minggu sekarang. Sementara Dian memeriksa tasnya dan melihat keadaan sekitar yang mulai turun hujan yang cukup deras, ia meraih kantung plastik dan mengeluarkan payung dari dalamnya.
“Kang… aku berangkat dulu ya, assalamualaikum!”
“Wualaikum salam…,”
Dian langsung beranjak dari tempat itu, ia berjalan berlindung dari payungnya. Ihsan kembali membaca. Sesaat ia memperhatikan Dian pagi ini, ‘Betapa beruntungnya Bayu memiliki adik seperti dia…,’ gumamnya dalam hati. Penampilan Dian sangat cantik pagi ini, bahkan menurutnya lebih cantik dari hari biasanya yang pernah ia temui. Penampilan muslimnya memang tidak mengikuti mode Islami seperti yang biasa dilakukan mahasiswi berjilbab pada umumnya. Tapi ia lebih condong kearah busana muslim seorang perempuan, seperti yang biasa dikenakan Nisa, perempuan yang agaknya ia sukai.
‘Astaghfirullah…’ ia cukup terlena setelah melihat penampilan Dian, matanya tertuju kearah langit pagi ini. ‘Ya Allah semoga engkau memberikan yang terbaik bagi hamba-Mu… Dan… memberikan tempat terbaik bagi ayah hamba-Mu, amin…’
Air matanya mulai jatuh, ia berusaha menghilangkan kesedihan agar tidak tampak di depan umum.
Langganan:
Postingan (Atom)