Selasa, 23 Juni 2009

BAB II
Hari ini berlalu tenang

Sudah sekitar seminggu lamanya Ihsan tidak melakukan sesuatu yang berarti, tapi sekedar mengisi waktu luang sebelum sidang nanti. Ia menyempatkan waktu untuk berinteraksi dengan mahasiswa yang lain, juga teman satu Liqonya. Baginya waktu adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, terlebih menyampaikan risalah keagamaan yang ia peroleh dari Ustadz Al-Hori. Orang yang membimbingnya memperdalam keislaman serta memantapkan hatinya untuk terus berada dijalan-Nya.
Semenjak sang Ayah tiada, ia selalu berkunjung ke rumah Ustadz Al-Hori. Menyambung tali silaturahim dan belajar mendalami pemahaman agama. Sejak itu pula pertemuan dengan Iyan, Febry, Bayu, Arul dan Herman terjadi dan akhirnya mereka sepakat untuk mengontrak sebuah rumah.
Ustadz Al-Hori terkenal dengan ramahnya, beliau seorang yang murah senyum dan pekerja keras. Setiap pagi pergi ke pesantren untuk mengajar santrinya, dan sorenya ia sempatkan untuk datang ke Masjid Al-Huda yang diapit oleh Rumah Makan Suharti dan Puskesmas Jatinangor. Tempat berkumpul Ihsan dan juga tempat belajar teman satu kontrakannya.
“Assalamualaikum akhi…,”
“Wu… wu’alaikum salam ya ustadz!”
Ihsan sedikit terkejut dengan kedatangan Ustadz Al-Hori, ia baru saja selesai shalat ashar dan sedang melantunkan dzikir. Orang tua itu mengenakan pakaian koko seperti biasanya, perlahan ia menghampirinya dan duduk tepat didepannya.
“Bagaimana keadaanmu, Nak ?” tanya Ustadz Al-Hori dengan nada serak. Ihsan menghentikan sejenak dzikirnya,
“Alhamdulillah ustadz, aku baik-baik saja… hanya saja aku masih dalam keadaan bimbang,”
Nada suara Ihsan seolah menyiratkan sesuatu yang ia pendam, sang Ustadz mulai tersenyum.
“Apa yang membuat antum bingung, bukankah selama ini antum tampak tenang dan melakukan segala sesuatu dengan baik tanpa perasaan ragu sedikitpun. Apakah gerangan yang terjadi ?”
Ihsan terdiam sesaat, matanya tertuju pada karpet yang terbentang disepanjang ruangan dalam masjid itu, ia tertunduk untuk beberapa saat. Ustadz Al-Hori memegang pundaknya seraya berkata,
“Bilang saja…. jikalau saya bisa membantu maka akan saya usahakan sebaik mungkin.”
Nada tegas lelaki didepannya membuat ia bangkit dari diamnya, perlahan ia memandang lelaki yang ada didepannya.
“Sebentar lagi aku memang akan menjalani proses sidang, tapi masih ada keraguan dalam hatiku. Meski sudah lama kunantikan ini, namun sepertinya masih ada hal penting yang harus kuselesaikan sebelum kota ini aku tinggalkan dan pergi mengamalkan ilmu yang sudah aku peroleh. Terlebih ibu sudah lama ingin aku segera lulus dan bekerja, sementara beliau masih sakit meskipun kini beliau sudah sehat seperti biasanya…
Namun kemarin malam beliau berkata demikian, ‘Nak, kapan kamu akan menikah setelah kamu lulus? Jikalau kamu sanggup maka segeralah menikah, ibu sebenarnya ingin menimang cucu sebelum meninggal. Tapi… semua sudah ibu serahkan padamu nak…’ Itu yang membuat aku bingung ustadz…,”
Ihsan kembali menundukkan kepalanya, sementara sang Ustadz mulai tersenyum.
“Antum sudah punya bayang-bayang akhwat yang hendak kau lamar ??”
Ia hanya menggelengkan kepala, sesaat matanya mulai memandang langit-langit dan kembali menunduk.
“Sebenarnya... aku... menyukai Nisa, Rani Annis Ar-Rahmah... keponakan ustadz....”
Entah kenapa ia berkata sedemikian gamblangnya, bahkan ia takut jikalau sang ustadz tidak sependapat dengan yang barusan ia katakan.
Sebaliknya sang ustadz kembali tersenyum, kembali ia memegang pundak Ihsan.
“Alhamdulillah, nak... pilihanmu memang sangat tepat, semoga Allah meridhoi yang kau katakan barusan. Terus terang saya setuju jikalau antum memang begitu mantap hendak melamar keponakan saya sendiri, orang tua mana yang bakal menolak lamaran orang sepertimu. Lulusan Unpad, pintar, saleh dan berperangai baik...”
“Tapi aku tidak terlalu baik seperti yang ustadz katakan barusan,” potong Ihsan beberapa saat.
Ustadz Al-Hori kembali tersenyum, “Insya Allah saya akan membantu antum...,”
Ihsan mulai bisa tersenyum, setitik cahaya cerah agaknya mulai tumbuh dalam hatinya. Perlahan ia mulai meneguhkan hatinya dan yakin kalau memang Nisa pilihan yang paling tepat dan juga ibu pasti akan senang dengannya.
“Assalamualaikum !!!”
Tiba-tiba ucapan salam terucap.
“Wu’alaikum salam… !” jawab mereka berdua serempak.
Seperti biasanya, pada hari Rabu adalah kegiatan mingguan rutin Liqo. Sepeti biasanya pula Ihsan dan teman sekontrakannya datang untuk belajar di masjid Al-Huda bersama Ustadz Al-Hori. Agaknya sore ini beliau tidak bisa lama bersama mereka, mengajarkan ilmu untuk para junior ini serta memantapkan pemahaman agama mereka. Beliau masih harus mengurusi kontrakan barunya yang sedang dibangun.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh... seperti biasanya pada hari ini kita rutin melakukan liqo, untuk pertama kali marilah kita bersama membaca basmallah...”
Yang lainnya saling membaca basmalah, kegiatan sore ini pun dimulai. Untuk selanjutnya, ustadz memimpin jalannya Liqo sore ini, sebagai pembuka mereka semua membaca mushaf. Dimulai Iyan yang membaca surat Ar-Rahman, Febry membaca surat Al-Waqi’ah, Herman membaca surat Al-Hadid, Bayu membaca surat Al-Hasyr, kemudian Arul membaca surat Al-Mujadilah. Ihsan sendiri membaca surat Yaasin. Ustadz sengaja menyuruh mereka membaca mushaf yang berurutan sementara Ihsan beliau bedakan.
Setelah semua selesai, ustadz mulai memberi beberapa materi. Kali ini adalah manajemen qalbu, persoalan yang sering dibahas Aa Gym dalam setiap dakwahnya. Ustadz membagikan beberapa buku tipis yang isinya mengenai pokok bahasan yang akan dikupas sore ini.
“Baiklah, sekarang saya membagikan kepada kalian buku-buku tersebut… silahkan kalian baca, nanti salah seorang dari kalian mempresentasikan apa yang barusan kalian baca. Kalian ambil materi yang paling awal atau pokok bahasan paling awal, sebab saya tidak terlalu punya banyak waktu sore ini…”
“Oh ya ustadz, kenapa tidak sekarang saja ditunjuk salah seorang diantara kami yang mempresentasikan bahasan yang dibaca ?” pinta Iyan.
“Mmm, bener juga ustadz…” imbuh Herman kemudian. Yang lainnya hanya mengangguk. Sementara ustadz Al-Hori hanya tersenyum kecil, “Bacalah terlebih dahulu, biar nanti saya yang putuskan…”
Akhirnya mereka semua mulai membaca, ustadz kemudian membaca mushaf sambil menunggu murid-muridnya membaca.
Ihsan membaca dengan cukup pelan, berbeda dengan junior-juniornya. Perlahan ustadz Al-Hori memperhatikan sikap Ihsan, dari raut wajahnya tersirat keseriusan dan semangat kerja keras yang tak mengenal lelah.
*****
Ustadz Al-Hori teringat ketika pertama kali bertemu dengannya, tempat yang sama dengan kegiatan saat ini dan akhirnya diputuskan sebagai tempat berbagi ilmu selain di pesantren. Saat itu Ihsan tengah berdzikir sambil menitikkan air mata, sementara jamaah shalat Ashar yang lain sudah pergi meninggalkan masjid setelah berdzikir.
Ustadz terus memperhatikan sikapnya yang semakin berbeda dari menit ke menit, air matanya terus mengalir tak tertahan.
‘Assalamualaikum akhi…,’
‘Wu’alaikum salam…,’
Ihsan kembali melanjutkan dzikirnya, sementara itu ustadz semakin mendekat kearahnya.
‘Nak… kenapa kamu demikian derasnya mengucurkan air mata ? Lantunan dzikir terus kau ucapkan… masalah besar apakah yang membuatmu bersedih sedemikian memuncaknya ???’
Perlahan Ihsan mengusap air matanya, ia terus menyeka tangisnya, ‘Apakah harus demikian sulitnya perjalanan hidupku ? Kenapa aku terus dilanda kesedihan dan kesulitan ? Sementara diluar sana banyak orang yang sibuk dengan urusan duniawinya, seakan Allah tidak memberi secuilpun kesusahan…?’
‘Astaghfirullah… kenapa antum bisa sebegitu mudahnya mengatakan hal yang demikian? Apakah antum merasa Allah tidak adil ?’
Ustadz Al-Hori tersenyum kecil, sementara Ihsan memandang beliau yakin, ‘Ya, pak !!! Allah tidak adil pada hamba-Nya termasuk diriku sekarang ini…!!!’
Ihsan menjawab tegas pertanyaan tersebut. Ustadz memegang pundaknya seraya berkata,
‘Nak… pernahkan terbesit dalam pikiranmu bagaimana Rasul pilihan Allah mengalami permasalahan dan problem yang kompleks ?? Ingatkah bagaimana mereka menjalani ujian yang sedemikian berat sampai terasa sangat tidak mungkin berakhir apabila kita tahu seperti apa ujian yang Allah berikan untuk mereka…,’
Ustadz Al-Hori mulai menitikkan air mata. Ihsan sedikit tertegun, ia kembali memandang orang yang baru pertama kali ia temui dengan seksama.
“Pak, mereka berbeda… mereka Rasul pilihan yang mempunyai hati yang kuat dan kewajiban membimbing umatnya ke jalan yang benar, sementara aku hanya seorang miskin yang tidak memiliki kekuatan apapun… aku…’
Ihsan tak kuasa menahan tangisnya, ia tertunduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
‘Nak, sekali lagi janganlah berkata seperti itu… Allah tidak memberikan ujian pada suatu kaum, melainkan mereka mampu untuk melaluinya” … ujian yang antum alami sekarang mungkin rentetan keberhasilan yang nanti akan nanda rasakan di hari kemudian, nanda harus yakin kalau Allah akan terus memberikan rahmat-Nya pada umatnya yang senantiasa bertasbih dan menyembah-Nya dengan penuh rasa keyakinan.’
‘Ayah…’
Ucapan itu begitu mudahnya terucap dari mulutnya yang tak tahan ingin berteriak sekencang-kencangnya.
‘Nak, ceritakanlah masalahmu… Insya Allah akan bapak bantu bila sanggup.’ Ustad Al-Hori tersenyum sesaat, beliau duduk tenang di depannya. Ihsan masih belum membuka kedua telapak tangannya yang masih menutupi seluruh bagian mukanya.
‘Hiks… Pak kenapa orang miskin terus dalam keadaan yang tetap padahal mereka berusaha untuk yang lebih baik serta diberi ujian sedemikian hebatnya… sementara diluar sana, orang-orang yang kaya dengan kerja sedikit malah menjadi semakin kaya padahal mereka terus menjauhi-Nya, keangkuhan dan keegoisan mereka seakan terus ada, selain itu ujian yang Allah berikan rasanya ringan…’
‘Manusia memiliki kecenderungan untuk mengatakan demikian, seakan mereka lupa akan segala rahmat yang selalu Ia berikan untuk hamba-Nya. Ketahuilah nak, kamu termasuk yang lebih beruntung dibandingkan mereka yang harus bertahan hidup dan mencari sesuap nasi yang rasanya sulit….,’
‘Pak… aku tahu semua itu, tapi… aku tak mampu menahan rasa kehilangan seorang ayah yang paling kusayangi… orang yang membanting tulang selama hidupnya untuk seluruh anggota keluarga termasuk aku !!!’
‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un….’ Ustadz Al-Hori terdiam sesaat, sementara Ihsan terus mengalirkan air matanya seakan sulit untuk dibendung. Bibirnya terus bergerak seraya mengucapkan kalimat tasbih.
‘Nak... ternyata nasib kita sama,’
Ihsan terdiam sesaat, perlahan ia memandang lelaki tadi yang sedang tersenyum. ‘Maksud bapak…???’
‘Jadi… disaat bapak ingin berbakti kepada beliau, keduanya berpulang ke Rahmatullah. Mereka berdua kecelakaan saat berpulang dari Baitullah, waktu itu… bapak menunggu mereka di bandara bersama anggota keluarga yang lain,’
Hatinya seakan tidak percaya, seakan ada gejolak batin yang amat dalam. Ustadz Al-Hori tidak begitu menampakkan kesedihan yang mendalam dan hanya beliau simpan dalam hatinya. Hati Ihsan berkata sekilas mengenai ketegaran dari kalimat yang barusan ia dengar.
‘Nak… sebagai sesama orang yang ditinggal oleh orang tua, alangkah baiknya kita selalu mendoakan beliau yang sudah berpulang. Semoga diterima disisi-Nya dan segala amal ibadah mereka diterima oleh Allah SWT.’
‘Pak... sungguh baru kali ini aku melihat seorang yang begitu tabah menghadapi cobaan...,’
‘Allahlah yang membuat bapak demikian, awalnya... bapak juga sangat tidak menerima semua yang telah terjadi. Tapi... pesan terakhir yang beliau tinggalkan membuat bapak bisa menerima segalanya.’ Potong Ustadz Al-Hori.
Sudah cukup lama mereka berdua berbincang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.
‘Kalau boleh tau... pesan seperti apakah yang membuat bapak demikian???’
Ustadz Al-Hori hanya tersenyum kecil, ‘Datanglah ke pesantren Al-Ihsan di Cibiru, bapak akan punya banyak waktu disana. Oh ya, saya juga lupa mengenalkan diri... Al-Hori...!!’
Ihsan mengulurkan tangan kanannya, ‘Ihsan... jadi, bapak seorang ustadz?’
‘Alhamdulillah nak, mungkin ini jalan yang sudah Allah SWT takdirkan buat saya...,’
Ustadz Al-Hori langsung bangkit, kemudian pergi seraya mengucapkan salam. Ihsan terus memandang kearah lelaki yang cukup tua itu, hatinya masih menyimpan beberapa pertanyaan. Ia mengusap mukanya yang sudah dibasahi oleh air mata,ia pun menuju tempat wudlu dan mencuci mukanya.
‘Bismillah...,’
Kakinya mulai mengajak keluar, ia pergi meninggalkan masjid dan bermaksud kembali kekosannya. Perjalanannya ditemani awan yang memerah di ufuk barat sana, suasana jalan yang ramai seperti yang biasa ia temui setiap hari.
Sementara dari ujung sebuah gang, ustadz Al-Hori terus memperhatikan seseorang yang baru pertama kali ia temui.
‘Nak, saya yakin kamu mampu melalui setiap cobaan yang Allah berikan... semua... tersirat dalam wajah dan kerut dahimu...,’
Beliau beranjak kembali dari tempat itu, tangannya memegang tasbih dan terus mengucapkan kalimat tasbih, tahmid, takbir dan tahlil di sepanjang langkahnya. Para malaikat diatas sana seakan mendoakan setiap hela nafas dan langkahnya untuk terus berada dijalan-Nya. Tempat itu pun akhirnya yang mempertemukan seluruh pemuda yang kini dibimbingnya, Masjid Al-Huda.
*****
“Ustadz...,”
“Astaghfirullah...!!!”
Ustadz Al-Hori langsung menutup mukanya, sementara anak didiknya terus memperhatikan beliau yang terus melamun.
“Sudah selesai...?”
“Kami bahkan menunggui ustadz yang sejak tadi terdiam, sebenarnya... apa yang sedang ustadz pikirkan ?”
Pertanyaan Herman agaknya membuat beliau malu, sementara anak didiknya agak menahan rasa ingin tertawa. Ihsan sendiri terus tersenyum melihat sikap ustadznya beberapa menit yang lalu.
“Afwan, mungkin saya agak sedikit lelah. Tapi...,”
“Kalau begitu... mendingan ustadz istirahat saja,” potong Bayu.
“... Melihat kondisi ustadz yang seperti ini, rasanya kami yakin kalau ustadz sedang dalam kondisi kurang vit. Lebih baik...,”
“Tidak apa-apa kok, ilmu yang saya ajarkan belum semuanya kalian terima... dan juga, kalian kan tidak selamanya akan ada disini,”
Semuanya terdiam sesaat.
“Bagaimana kalau besok sore saja kita lanjutkan pertemuan kali ini ?”
Ajakan Ihsan belum sepenuhnya mereka respon, disamping itu ustadz Al-Hori nampaknya cukup sedikit lelah.
“Baiklah... Insya Allah pertemuan kita dilanjutkan besok. Sebagai penutup mari kita membaca do’a penutup majelis...” kata ustadz Al-Hori.
Sore ini nampaknya kurang begitu bersahabat dengan beliau, padahal ketika awal-awal suasana cerah menyelimuti beliau.
Keadaan memang tidak selamanya akan baik dan terkadang hal buruk dapat datang kapanpun ia mau. Ihsan dan para juniornya kembali kekontrakan, sementara ustadz Al-Hori langsung pamit pulang mengendarai sepeda motor Hondanya.
“Kang, kok tumben ya ustadz Al-Hori sakit... padahal biasanya juga sehat-sehat aja,”
Perkataan Iyan mulai membuat Ihsan sedikit terkejut, “Keadaan seseorang siapa yang tahu ?”
Sore ini mereka lalui dengan tenang, begitu pula dengan Ihsan. Ia teringat perkataan ustadz Al-Hori sebelum pulang, “Datanglah ke kontrakan saya kalau nanda ingin bicara lebih banyak soal yang tadi...,”Ia teringat dengan pembicaraan diawal sebelum kegiatan Liqo dimulai. Agaknya selain keinginan untuk segera lulus kuliah tahun ini, keinginan memiliki seorang pendamping hidup mulai terbesit dalam benaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar