Jumat, 05 Juni 2009

novel chapter 1

BAB I
Awan kelabu di Jatinangor…
Hidup memang sebuah tantangan dan juga kesenangan tiada akhir, bagi mereka yang mengerti akan maknanya. Setiap orang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri, serta nasibnya. Bagaimanapun juga, manusia hanya bisa berharap dan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh segalanya.
Hari ini suasana mulai sepi, tepat pukul jam sebelas malam seperti yang ditunjukkan jam tangannya. Ia terus berjalan menelusuri malam yang dingin, hanya ditemani tas yang sudah lama ia panggul. Terus saja ia mengarahkan pandangan kedepan, sesekali kendaraan sepeda motor melintas disampingnya, selain itu masih ada bus malam yang melintas.
Kota ini sudah menunjukkan keasliannya yang dulu, dimana masih ada pohon-pohon besar yang berdiri tegak dan kesepian sepanjang hari yang menyelimuti. Namun dengan sihir tangan manusia, diubahnya menjadi kawasan pendidikan dan pemukiman yang terus-menerus dilanda kemacetan, khususnya pada jam-jam kuliah mahasiswa. Ya, kini keramaian terus ada disini, kota yang menjadi primadona sebagai kawasan pendidikan dan mulai menyaingi keramaian kota Bandung, meskipun pada kenyataannya sangat sulit.
Sekian lamanya ia berjalan, dengan suara-suara hewan malam yang menemani setiap detik langkahnya, sudah tepat ia berdiri didepan sebuah bangunan,’home sweet home’, tempat tinggal sementara disini, kontrakan yang mulai membuat sejarah hidupnya yang baru.
“Assalamualaikum…!”
‘Tok…tok…tok…’ tangannya berayun dan mengetuk pintu untuk sesaat, masih belum ada balasan dari dalam, ia terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sampai salam dan ketukan yang kelima…
“Wualaikum salam…!”
Dari dalam kawannya membukakan pintu, ia langsung melepas tasnya dan ‘ditentengnya’ kedalam kemudian disimpan diatas sofa.
“Kang, malam-malam gini baru pulang ? emang dari mana?”
“Biasa Rul… tugas kuliah,”
Ia jawab datar-datar saja, kawannya hanya bisa mengangguk sambil berkata ‘Oh..’. selain mereka berdua, masih ada lima orang lagi yang mendiami rumah ini. Ridwan jurusan Kimia dari Jember, Iyan jurusan Fisika dari Kebumen, Febry jurusan Sastra Inggris dari Bandung, Herman jurusan Farmasi dari Indramayu dan Bayu jurusan Hubungan Internasional dari Indramayu, semuanya duduk di tingkat 2 kecuali Bayu yang sudah di tingkat 3. Sementara dua orang ini sama-sama dari Teknik Geologi, hanya saja Arul dari Ciamis sedangkan Ihsan orang yang paling senior diantara mereka berasal dari Indramayu, yang terus disibukkan dengan tugas lapangannya. Maklum, ia satu-satunya mahasiswa Geologi yang belum sidang. Padahal teman-teman yang lain sudah selesai dengan sidangnya, bahkan ada yang sudah ditempatkan di perusahaan pertambangan maupun perminyakan.
Sudah lebih dari lima tahun ia berada disini, sampai lupa kalau sudah waktunya ia berpisah dengan almamater yang membesarkan namanya dan memberinya banyak hal melalui dosen pembimbing serta senior-seniornya. Kalau diingat ingin rasanya ia menertawakan dirinya ketika masa ‘mabim’ dulu, saat itu sungguh berdebar rasanya kalau bertemu dengan senior-senior yang ‘galak’ bin ‘sadis’.
“Astaghfirullah…,” Ia langsung bangkit dari lamunannya, merebahkan tubuh diatas sofa sambil mengusap mukanya yang penuh dengan rasa kelelahan.
“Kang, ini diminum dulu…” Arul datang dengan membawa secangkir teh hangat, ia pun segera bangkit.
“Ah, jadi ngerepotin kamu nih… ngomong-ngomong jam segini masih belum tidur, emang ada tugas ?”
“Nggak juga kok, habis baca-baca buku trus main ‘game’ juga…”
“Kamu tuh kebiasaan main game… kurangin dong mainnya !”
“Iya kang, tapi… kalo buat rileks sih nggak salah kan ??? Hehehe…”
“Terserah kamu aja, kuliah kamu gimana ?”
“Biasa-biasa aja kok… oh ya kang, punya bahan buat referensi Petrologi ga ? Ada tugas dari dosen nih…”
“Ada… kamu masuk ke kamar saja, ntar buka foldernya di D… trus cari folder bahan kuliah, kalau buku-bukunya kamu cari saja di rak…,”
Setelah mengambil kunci kamar kakak tingkatnya ia langsung bergerak mencari, sementara Ihsan kembali merebahkan tubuhnya diatas sofa, perlahan matanya mulai terpejam dan terlarut dalam mimpi malam ini.
*****
Masih dengan suasana malam, kali ini kesepian menyelimuti tempat yang lain, hanya terdengar suara perempuan melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Hal yang sudah biasa dilakukan Nisa, mahasiswi tingkat 3 Fakultas Psikologi, di waktu malam sebelum tidur adalah membaca mushaf. Perempuan yang selalu tenang, bawaannya yang ‘kalem’, selain itu dia orang yang cukup cerdas diantara teman-teman yang lain. Beberapa hal yang diantaranya membuat seorang Ihsan menyukainya. Awalnya mereka berdua bertemu dalam kegiatan Islamic Day, perkenalan diantara mereka kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali perbincangan dan diskusi keagamaan.
Sudah tepat jam dua belas malam, ia pun sudah selesai membaca mushafnya. ‘Alhamdulillah…’ ia langsung merapihkan beberapa buku yang hendak dibawa kuliah besok pagi. Pandangannya sedikit terarah pada ponselnya, 1 pesan muncul di layar, pesan yang seharusnya ia baca beberapa jam yang lalu,
“Assalamualaikum…, Nis besok kamu da kegiatan nggak??? Kalo nggak ada, ntar Akang jemput kamu didepan kampus,,akang mau ngajak kamu ke Gramedia,,syukron…”
‘Astagfirullah…,’ ia lupa membaca pesan dari Ihsan karena mensilent Hpnya, kebetulan mala mini ia harus menyelesaikan tugas buat besok jadi ia ingin konsentrasi menyelesaikannya. Cepat ia membalas isi pesan tadi, kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata.
Sama halnya dengan Ihsan, ia pun menyewa sebuah kontrakan, bersama keempat teman yang lain. Sarah jurusan Matematika dari Garut, Fani dan Oppie sama-sama dari Cirebon juga kuliah di Fakultas Keperawatan, ketiganya sudah tingkat 3, sama dengan Nisa. Dan yang terakhir Dian yang baru masuk, kuliah di jurusan Farmasi, adik perempuan satu-satunya Bayu teman satu rumah Ihsan. Bayu sengaja menitipkan Dian ke Nisa, maksudnya supaya ada yang mengontrol kegiatan sehari-harinya, bahkan Nisa sendiri merasa cukup senang dengan kehadiran Dian. Anaknya yang kalem, pintar lagi, bahkan sempat terdengar kabar kalau Herman menyukainya.
‘Tok… tok… tok’ suara pintu menggugahnya, ia kembali bangkit dari perbaringannya, “Siapa…?”
“Aku Teh…, Dian…”
“Masuk aja… nggak dikunci!”
Nisa akhirnya tidak jadi memejamkan mata, agaknya ada sesuatu yang hendak diperbincangkan malam ini.
“Teh, ada sesuatu yang ingin aku omongin… tapi ntar ngeganggu istirahat Teteh malam ini ga? Afwan…,”
“Mmm…, nggak pa-pa kok, Teteh juga belum tidur. Tumben malam-malam gini mau ngobrol ?”
“Teh… sebenarnya… aduh gimana ya ??? Jadi bingung mau ngomong apaan, tapi…”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, ia meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Dian.
“Katakan yang hendak ade bilang… Teteh nggak selamanya bisa ngebantu kamu, tapi akan teteh usahain kalo bisa…”
Dian mulai tersenyum, tapi sebenarnya ia masih ragu untuk membicarakannya sekarang. Tapi hatinya menyuruh untuk segera mengatakannya.
Sepertinya malam ini ada curhatan yang hendak dibicarakan.
“Teh… sebenarnya… aku mau nanya tentang Her…man…,” Dimata Nisa tersirat perasaan malu yang disimpan Dian, ia pun hanya bisa kembali tersenyum.
“Herman itu baik…, kalo mau tau lebih banyak, bilang aja sama kakakmu Bayu…”
“… Ah, nggak deh kalo ama mas Bayu sih… ! dia jarang ngeladenin aku dan terlalu fokus ama kuliahnya…,”
“Ya udah kalo gitu, kamu… ngomong panjang lebar aja ama kang Ihsan,”
Dian mulai diam dan mengangguk, sepertinya ia mulai paham maksud Nisa. Tapi…
“Teh… ntar nitip sesuatu nggak ke kang Ihsan seandainya ntar aku ngobrol-ngobrol ma dia ??”
“… maksudnya ?”
“Ih… teteh berlagak nggak paham maksud Dian, bukannya…”
Nisa langsung memotong pembicaraan Dian, kedua jari tangan kanannya menutup mulut Dian. Ia mulai terdiam, sementara Dian terus memperhatikan sikap Nisa yang mulai aneh.
“Ya udah teh… malam ini cukup sampai disini ngobrolnya, aku kembali ke kamar aja. Maaf banget ya kalo malam ini Dian udah buat tetah kesel…,”
Nisa hanya membalas dengan senyuman, “Nggak apa-apa…”
Dian langsung beranjak menuju kamarnya, perlahan ia membuka pintu kamar Nisa dan menghilang ke ruangan lain di rumah itu. Nisa masih belum berbaring, ia tetap saja terdiam untuk beberapa saat. Ia pun meraih selimutnya dan mulai merebahkan tubuh diatas tempat tidurnya. Perkataan Dian barusan menyentuh hatinya, sama sekali tidak ia sangka bahwa juniornya akan mengatakan demikian.
Sebenarnya ia memendam perasaan untuk Ihsan, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini ia fokuskan untuk kuliah dan segera menyelesaikan S1-nya, kemudian mengambil langkah selanjutnya. Konsentrasinya mulai sedikit buyar beberapa bulan ini. Tiga bulan yang lalu keluarganya mengatakan bahwa ada yang hendak melamarnya, seorang lulusan ITB, orang yang bahkan Ihsan kenal sekali. Agaknya ia masih belum mau menjawab, kendati sang pelamar tetap memberi kebebasan baginya menyelesaikan studi sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan.
‘Kang…, seandainya kamu ada disini lalu mendengar semua kenyataan yang terjadi, lantas… apa yang hendak akang lakukan ???’
Rasa gelisah membuatnya susah untuk tidur, ia hanya mampu menyerahkan keadaan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Zat Maha Agung tempat ia selama ini berserah diri. Entah apa yang akan terjadi besok, yang pasti malam ini bukan hanya dia yang susah tertidur. Ihsan sepertinya terbangun dan entah sebabnya mengapa, di kedua tempat yang berbeda menyiratkan aura yang ingin mempersatukan antara keduanya.
Nisa sulit untuk memejamkan mata, sementara jauh disana, Ihsan terbangun dan duduk termenung diatas sofa yang baru setengah jam lebih ia tempati. Rasanya malam ini kerumitan melanda keduanya, tapi entah bagaimana kelanjutan esok hari, yang pasti para malaikat memperhatikan sikap keduanya malam ini.
*****
Pagi ini awan mendung mulai menyelimuti seisi kota Jatinangor, namun semangat mahasiswa untuk datang ke kampus masih belum pudar. Terutama mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India, lantas dimanakah mahasiswa Indonesia ???
Sepertinya kehangatan selimut masih membalut tidur lelap mereka, disisi lain ada juga beberapa diantaranya yang sudah tenang membaca buku di teras. Pagi ini Bayu sudah bersiap berangkat kendati waktu masih menunjukkan pukul 07.05 WIB, sambil membaca buku ia mendengarkan kicau burung yang hinggap di atap-atap kos-kosan yang dekat dengan kontrakan mereka. Didalam sana Febry, Iyan dan Herman menyiapkan sarapan pagi ini. Menu sarapan biasa ala mahasiswa, telur mata sapi ditambah teh manis hangat yang hampir tiap pagi mereka rasakan.
Ihsan masih belum bangun dari tidurnya, setelah shalat subuh ia kembali memejamkan matanya dan tertidur diatas sajadah.
“Wan… Kang Ihsan kok tumben belum keluar ?” tanya Bayu.
“Waduh nggak tau juga tuh kang, tapi… ntar aku bangunin deh !”
Ridwan bergegas kembali kedalam, setelah menyimpan sapu ia langsung menuju kamar Ihsan. ‘Tok… tok… tok…’
“Wan, jangan ganggu istirahat kang Ihsan… mungkin dia kecapean…” potong Arul yang tiba-tiba berada disana.
“Lho… tumben kamu ada didekat sini ? Bukannya sekarang giliran kamu menyapu halaman…?”
“Ini juga mau ngerjain, tadi habis dari WC… semalam kang Ihsan baru pulang dan sepertinya habis ngerjain tugas yang berat, jadi… biarkan saja dia istirahat.”
Mereka berdua akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing pagi ini, dari dapur sendiri sarapan sudah siap, koki-koki pria sudah siap dengan sarapan yang dihidangkan di meja makan.
“Alhamdulillah…,” papar Iyan.
“Oke… kita makan !!!” sahut Herman dengan semangat. Semua sudah siap pagi ini, kecuali Ihsan yang masih tertidur lelap. Bayu segera menutup bukunya dan menuju meja makan,
“Kang Ihsan mana ?”
“Bener juga kamu Feb, oh ya… Rul, kang Ihsan sudah bangun ?”
“Belum kang… paling sebentar lagi juga bangun,”
“Nah, sekarang kita makan !!!” potong Iyan.
Pagi ini bukan hanya disini yang berbahagia dengan sarapan, di tempat lain pun demikian, sama seperti dengan beberapa tempat lain terutama para penjaja sarapan pagi yang sudah berjualan untuk menyiapkan sarapan pagi khususnya untuk mahasiswa.
Kali ini Ihsan mulai membuka matanya, perlahan ia bangkit dari sajadahnya, mengusap kedua mata dan duduk tenang.
“Astagfirullah… aku sudah tidur terlalu lama,”
Ia melirik kearah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Langsung ia bangkit dan mengambil handphone, sebuah pesan tertera pada layar.
“Wualaikum salam,,, afwan kang ru bales… afwan juga kalo permintaan akang tidak bisa aku penuhi. Besok ada kerja kelompok bareng temen-temen… mungkin lain kali aku bisa penuhin,,afwan banget…”
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia langsung pergi keluar dari kamarnya. Menuju kamar mandi dan mencuci mukanya, dari ruang makan terdengar anggota rumah yang lain sedang memperbincangkan sesuatu.
“Hmm… ngomong-ngomong Herman kayaknya lagi nyimpen sesuatu dari kita nih,”
Sindiran Iyan mulai mengganggu sarapannya pagi ini, sementara yang lain mulai memandanginya seksama.
“Nah lho…, kok pada curigain aku sih ??! Lagian… kamu lagi Yan, ngomong kok malah ngelantur !?”
“Assalamualaikum…!!!”
“Wualaikum salam !!!” jawab mereka serempak. Kali ini semua anggota sudah lengkap, kang Ihsan sudah terjaga dan bergabung bersama mereka.
“Waduh… akang kita sudah bangun nih!” papar Herman.
“Mmm… ngomong-ngomong ada apa dengan si Herman nih? Kalo nggak salah, akang sempat ngutip pembicaraan kalian tadi…”
“Jadi…”
‘Duk…!!!’ kaki Herman menendang kaki Iyan, membuat temannya terpotong untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara yang lain seolah termakan sikap Herman yang menginginkan mereka semua untuk tidak angkat bicara.
Ihsan hanya bisa tersenyum, ia mengambil tempat duduk disamping bangku Herman yang kosong.
“Jadi… ada rahasia nih ??!”
“Ya udah… sekarang yang penting kita semua sarapan, oke!!!”
Bayu langsung mengambil alih suasana, sementara Ihsan hanya bisa tersenyum. Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat, diluar sana arus kendaraan mulai memadat terutama kendaraan mahasiswa. Hari ini Ihsan tidak ada rencana untuk kuliah, dan ia tinggal sendiri apabila semua teman sekontrakannya pergi ke kampus.
“Oh ya kang, hari ini ada rencana kemana ?” tanya Herman.
“Mmm… paling disini saja, tapi ntar kalo bosen juga pergi ke Bandung…”
“Sama Teh Nisa…?!” potong Arul.
“Hus !!!” mata Febry tertuju penuh kearah Arul, yang lainnya agak terkejut dengan apa yang tadi Arul ‘celetuk’. Suasana mulai agak berubah,
“Kang… afwan ya yang tadi,”
Ihsan tersenyum, “Nyantai aja…” sarapan paginya agak dipercepat, ia memegang bahu kanan Herman.
“Oke… akang duluan ya, mau jalan-jalan sebentar !”
Ihsan langsung meminum air di gelasnya, selanjutnya ia bangkit dan tersenyum kemudian mengucapkan salam.
Semua pandangan tertuju tajam kearah Arul, terutama Bayu.
“Rul… kamu kurang ajar banget sih!!” suara Iyan cukup keras, sedikit terdengar oleh telinga Ihsan yang sudah cukup jauh dari pintu depan. Ia kembali melangkah dan tidak tahu apa yang sedang terjadi didalam.
“Sudah, cukup !!! Sekarang kita jangan membahas masalah itu lagi… kang Ihsan tidak akan marah, yang penting kesalahan kamu jangan diulangin lagi ya, Rul…!!!”
Bayu berusaha untuk meredakan ketegangan di ruang makan itu, semuanya beristighfar dan memohon ampun atas segala yang mereka lakukan pagi ini. Terutama Arul yang merasa sangat bersalah atas kejadian pagi ini. Selanjutnya mereka pergi ke kampus bersama, kampus tercinta Universitas Padjadjaran.
*****
Langkah kaki Ihsan sepertinya menuju kampus, jalanan sudah dipenuhi kendaraan. Ia terus melangkah dan akhirnya sampai di depan gerbang. Matanya tertuju pada sebuah koran, ‘Top Skor’. Hari ini Jum’at, ia sudah terbiasa membeli koran olahraga pada hari ini tiap minggunya.
Hujan rintik-rintik membuatnya merapat pada sebuah tempat ‘fotocopy’ disamping daerah gerbang, bersama seorang perempuan ia berteduh sesaat sambil membaca korannya.
“Kang Ihsan…,”
Ia menoleh kearah suara yang memanggilnya,
“Assalamualaikum…”
“Wualaikum salam, eh… kamu Dian. Kok sendirian aja ?”
“Iya nih, Teh Nisa tadi buru-buru berangkatnya. Terus yang lain nggak ada jadwal kuliah pagi ini, jadi… ya sendirian deh,”
Ihsan hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangan ke berita olahraga, jadwal pertandingan sepakbola untuk Minggu sekarang. Sementara Dian memeriksa tasnya dan melihat keadaan sekitar yang mulai turun hujan yang cukup deras, ia meraih kantung plastik dan mengeluarkan payung dari dalamnya.
“Kang… aku berangkat dulu ya, assalamualaikum!”
“Wualaikum salam…,”
Dian langsung beranjak dari tempat itu, ia berjalan berlindung dari payungnya. Ihsan kembali membaca. Sesaat ia memperhatikan Dian pagi ini, ‘Betapa beruntungnya Bayu memiliki adik seperti dia…,’ gumamnya dalam hati. Penampilan Dian sangat cantik pagi ini, bahkan menurutnya lebih cantik dari hari biasanya yang pernah ia temui. Penampilan muslimnya memang tidak mengikuti mode Islami seperti yang biasa dilakukan mahasiswi berjilbab pada umumnya. Tapi ia lebih condong kearah busana muslim seorang perempuan, seperti yang biasa dikenakan Nisa, perempuan yang agaknya ia sukai.
‘Astaghfirullah…’ ia cukup terlena setelah melihat penampilan Dian, matanya tertuju kearah langit pagi ini. ‘Ya Allah semoga engkau memberikan yang terbaik bagi hamba-Mu… Dan… memberikan tempat terbaik bagi ayah hamba-Mu, amin…’
Air matanya mulai jatuh, ia berusaha menghilangkan kesedihan agar tidak tampak di depan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar