Selasa, 23 Juni 2009

DEAR…

Sore ini berlalu cukup tenang, dengan rintik hujan yang masih membasahi bumi yang indah. Beberapa tetes membasahi bahunya yang terbiarkan tanpa kain, ia masih duduk di bawah pohon beringin menemani kelincinya. Sudah lama ia berada disana, bahkan sebelum hujan turun 2 atau 3 jam yang lalu. Disampingnya bercecer kertas dan buku, terselip diatas telinganya sebuah ballpoint. Ia masih mengamati kelincinya yang berlarian,
“Kalau ingat dulu…,” batinnya menyeruakkan kata-kata itu… membawanya melintasi dimensi ruang dan waktu. Menembus kegalauan masa lalu dan jelas masih berbekas dipikirannya.
…... Waktu melintas tanpa disadari, sudah usia enam belas tahun kini. Dengan kata lain, masih berada di bangku kelas XI SMA. Sosok yang sudah banyak dikenal karena keaktifannya dalam organisasi sekolah, selain itu ia juga cukup cerdas dalam persaingan akademis. Meskipun begitu, ia masih memiliki perasaan yang dipastikan bakal menjadi pukulan balik. “Kalah sebelum bertanding”, singkatnya ia terkesan agak mudah putus asa dan disamping itu terkesan cepat mengambil keputusan.
Dalam raganya mengalir darah Ayah yang penuh percaya diri, dan tertutup perasaan khawatir sang Ibu. Banyak hal yang belum ia ketahui di sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri. Belum lagi, ia terlalu mencemaskan sesuatu dan… hal ini yang menjadi hal paling menakutkan dalam hidupnya.
“Win…,”
Ia menoleh kearah suara panggilan,
“Hei… tumben kamu sendirian ?”
“Biasa aja kok… Mmm, oh ya Nur… Ria sudah datang belum ?”
“Lho, emangnya di kelas kamu nggak ngeliat dia ?”
Agak mengernyit dahinya, ”Tasku kan masih dibahu… jelas dong aku belum masuk kelas !”
“Udah tuh… dia lagi ngobrol-ngobrol ma yang lain,”
“Hari ini nggak ada tugas, kan ?”
“Nggak ada…, sebenarnya… kamu suka kan sama dia ?”
“…Ria…?” katanya sambil memandang wajah temannya.
Ia terdiam sejenak, suasana mendadak menjadi cukup serius.
“Kenapa Win ? Maaf deh kalo pertanyaanku tadi buat kamu tersinggung…,”
“Nggak kok…, aku cuma bingung aja.”
Beberapa teman lainnya menghampiri mereka berdua, “The Five Amusement Boy’s”.
“Hei…hei, morning !” sapa Ferdi.
Tiga orang lainnya menuju kelas, Andri masih berdiri ditemani Ferdi. Sambil menunggu bel masuk berbunyi mereka berempat bercanda, hal yang paling disukai Erwin. Terkadang sampai berlebihan.
“Masuk yuk…!” ajak Andri.
Pagi yang cukup membingungkannya, seperti ada hal yang mengganjal dalam pikirannya, benaknya, bahkan… perasaannya. Sapaan Ria membuyarkan langkah lamunannya, ia balas dengan senyuman kecil. Bangkunya di belakang, ia duduk bersama dengan Eby, teman sejak masa SD dulu. Selain itu, mereka berdua membentuk “Whest”, sebuah grup band, bersama kelima rekan yang lainnya. Kini hanya mereka bertiga bersama Hilman, Tegar dan Syamsul sekolah di Karawang, Reza di Tangerang, dan Ogi pergi ke Jakarta dan menjadi montir disana membantu Ayahnya.
Lantas sebenarnya dalam benaknya kali ini tiada lain, ia bingung dengan perasaannya. Ria adalah teman yang pertama kali menamparnya, akibat masalah kecil,”ledekan”. Dari hal itu, mereka berdua selama sebulan musuhan, sampai akhirnya Erwin mengalah dan tidak ingin membuat masalah lagi dengannya. Erwin terkadang berlebihan dalam bercanda, bahkan bisa dianggap serius. Meskipun begitu, ia bisa menjadi orang yang terlalu baik. Apalagi jika ada orang yang membantunya, bisa ia balas dua kali lipat dari sebelumnya, dan bahkan bisa lebih. Ia orang yang tahu terima kasih.
Cinta pertamanya memang bukan Ria, sebelumnya ia sudah menjalin hubungan asmara, “terlarang” bersama Rahma. Perempuan yang sudah lama ia kenal sejak SD, dan beda sekolah. Hubungannya terkadang baik, tegang, sampai akhirnya ia harus mematuhi perintah sang ibu untuk memutuskan tali diantara mereka.
“Ri…,”
Ria menatapnya cukup serius, “ada apa ?”
“Aku ingin ngobrol sesuatu ama kamu… bisa?”
Balasan senyuman ia dapat, diajaknya Ria ke taman depan. Mereka hanya berdua, tidak ada rekan sekelas lain kecuali beberapa orang siswa yang sedang asyik bercanda dan ngobrol-ngobrol disana.
“Ri… ada hal kecil yang mau aku omongin,”
“Ngomong aja Win…,”
“Sebagai partner, aku sangat menghargai persahabatan diantara kita… Tapi sebenarnya… aku memendam rasa suka terhadapmu ! Maaf… banget, kalau apa yang sudah aku utarakan menyinggung kamu,…”
Ria agak menghela nafasnya, ia menatap wajah Erwin pelan.
“Mmm… Nggak apa-apa kok Win, setiap orang pasti menyimpan perasaan yang sama kayak kamu. Sebab… dulu juga aku pernah dalam kondisi seperti kamu, tapi posisi aku sebagai perempuan…”
Erwin agak tersenyum, Ria pula. Kali ini Erwin tidak ada maksud untuk mengutarakan perasaannya, ia hanya menyampaikan perasaan yang boleh dikatakan tak perlu dibalas.

*****

Berlalunya waktu seakan mengantarkan Erwin pada hal yang mulai membebaninya, ia masih belum bisa menemukan jati dirinya sebagai seorang “partner” yang berada di belakangnya. Kecurigaan beberapa orang temannya mulai menjadi, ia hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia beberapa kali mengajak Ria jalan bareng, ataupun belajar bersama.
Banyak hal yang belum ia mengerti, dan kebanyakan ia mengalah pada keadaan. Beberapa kali Ria pernah menjauhinya, tanpa penjelasan yang berarti. Sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk orang yang jelas-jelas bukan miliknya.
“Win…,” sapa Yosi mengguncang lamunan Erwin.
“Eh kamu… Yos,”
Erwin masih duduk terpaku di teras, matanya tertuju ke arah lapangan basket.
“Nggak seperti biasanya kamu seperti ini, ada apa…?”
“Nggak kok biasa aja…,”
“Ria banyak cerita…”
Erwin langsung tercengang dan menatap wajah Yosi, ia kembalikan mukanya ke tanah.
“… Maaf Win, aku nggak ada maksud buat nyinggung kamu. Aku juga belum paham dengan beberapa cerita Ria tentang kamu…, satu hal yang pasti…”
“Apa…?” potong Erwin.
“Dia ingin kamu merubah sikap kamu,…”
Yosi langsung meninggalkannya menuju kedalam kelas. Tanpa gerakan yang berarti, ia kembali tertunduk dalam kesendiriannya.
“Hei Win…! Masuk gih!” kata Andri.
“Yoi bro…, “km” kita masa di luar?” imbuh Nur.
Erwin hanya membalas dengan senyuman. Ia mengikuti saran kedua rekannya, wajahnya cukup lesu. Ia sama sekali tidak memalingkan wajah kebawah, diam seribu bahasa. Erwin yang sekarang tidak banyak tingkah. Satu demi satu pelajaran dilaluinya tanpa respon yang berarti. Pertanyaan temannya hanya dibalas dengan kata “Nggak pa-pa” atau “Biasa aja” bahkan “Lagi pengen diem aja”.
Hari yang sama sekali tidak membuatnya merasakan semangat. Satu kesempatan ia berpapasan dengan mantannya,
“Rahma…,”
“Eh… Erwin… gimana kabar ?” katanya lembut.
“Baik kok, kamu sendiri…?”
“Ya, seperti yang kamu lihat… Mmm, kamu kayaknya lagi nggak mood…”
Erwin hanya tersenyum kecil dan seperti biasa, “nggak pa-pa”. Kebetulan sekali mereka pulang satu arah, jadi seperti waktu kebersamaan dulu. Erwin menjadi cukup nyantai, ia sejenak melupakan kemelut dalam dirinya. Rahma sudah cukup berubah, dari mulai nada bicaranya yang agak tenang. Sebelumnya ia sering berceloteh, banyak mengemukakan hal yang patut dibicarakan.
Kembali dengan masanya, ia makin dekat dengan jati dirinya. Ia banyak melakukan hal yang dianggapnya menjadi proritas, tidak jarang ia belajar sampai larut malam. Setiap hari hanya melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan dengan frekuensi yang sering. Dari nge-band bareng teman-temannya, belajar setelah shalat subuh, sampai ia sendiri ikut klub basket.
Seiring waktu yang berlalu, teman-temannya mulai menyadari perubahan drastis dalam dirinya. Bahkan, Ria sendiri.
“Win…,”
Ia menengok kearah suara,
“Win, kita cabut dulu ya… !” kata Andri.
Ardi beranjak dari tempat itu, ditemani Ferdi dan Eby. Sudah cukup lama mereka ngobrol di dalam kelas yang kebetulan gurunya sedang behalangan hadir. Erwin merapihkan bukunya yang tergeletak begitu saja di atas meja, ia seakan tidak menghiraukan kehadiran seseorang yang agak menganggu kegiatannya tadi.
“Kamu, marah… Win ?”
“Terserah kata kamu… !” balasnya ketus.
Ria langsung pergi meninggalkannya, tanpa disadari mereka diawasi oleh teman-temannya.
“Win, kamu jangan gitu dong…” kata Yosi sambil menghampirinya.
“Ya kalau nggak niat ngomong, jangan kesini lagi gitu… !”
“Biar bagaimanapun juga dia pasti punya niat baik…, jangan seperti ngebales,” imbuh Nur.
Erwin hanya tersenyum kecil, ia pergi keluar. Tampak olehnya Ria menahan isak tangisnya ditemani Eby, Mell dan Wiwin. Ia berjalan berlawanan dari arah mereka, mencoba sedikit menghindar. Erwin tak mampu menahan perasaan kecewa daripadanya, meski ia masih ingat dengan perasaannya dulu padanya. Semuanya seakan hilang tak berbekas, hanya menyisakan kenangan pahit yang tak berujung.
“Win…,”
Suara itu masih belum membangunkan lamunannya. Sama seperti keadaan yang sebenarnya saat ini.
*****
Ia terhentak dengan kelinci yang menubruk kakinya. “Wah sepertinya aku terlalu banyak melamun…,” katanya dalam hati. Ia langsung merapihkan ceceran kertas tadi, cuaca disekitarnya mulai membaik. Perlahan ia membawa kelincinya kembali ke kandang, kertas-kertas itu mulai tersusun rapih dan ia biarkan tersimpan dibawah pohon tadi.
“Kakak… !”
Panggilan adiknya mulai menjauhkan dirinya dari lamunan itu. Fani namanya, 15 tahun dan ia kebetulan sekolah di tempat yang sama saat Erwin masih duduk di bangku SMA. Meski masih kelas X, prestasinya hampir mengalahkan kakaknya terutama di bidang seni. Dari mulai lomba membaca dang mengarang puisi, cerpen bahkan novelnya yang pertama hampir ia selesaikan. Tidak hanya itu, bakatnya dalam seni lukis membuatnya melenggang hingga tingkat propinsi.
“Baru pulang ?”
“Nggak kok , dari tadi… kakak akrab bener ama kelincinya.”
“Si Jimmy kan teman kakak sejak SMA,”
Fani menggendong Jimmy, dibawanya ke kandang. Sementara kakaknya malah kembali merenung, entah apa yang dipikirkannya saat ini. Sekarang ia sudah mempunyai seorang istri, satu angkatan saat kuliah dulu. ‘Riri’ begitulah namanya, lulusan fakultas keperawatan UNPAD. Sedangkan ia sendiri berencana melanjutkan studi kedokteran spesialisnya, meski sebenarnya ia sudah dapat pekerjaan di RS. Hasan Sadikin. Istrinya sendiri sama bekerja di tempat itu juga.
“Kak… ade mau nanya sesuatu nih!”
“Mmm, boleh…”
“Gini loh kak… aku habis ditembak ma cowok loh !”
Betapa terkejutnya ia oleh perkataan adiknya tadi,
“Terus…,”
“Justru itu kak, cowok itu… dulunya pernah ‘eng-engan’ ma aku. Setelah beberapa lama, kita baikan… entah mengapa selama itu… dia malah mengatakan rasa ‘suka’ dia ke aku…,”
Kembali ingatan masa lalunya yang masih menyimpan sejuta misteri dibalik cerita romantika remaja SMA.
*****

“Win…,”
“…,”
Erwin masih dalam diamnya, ia hanya merespon dengan lirikan matanya yang seakan menilai orang itu mengganggu kegiatannya saat ini.
“Sorry Mel…, aku lagi pengen sendiri…” ia berkata tanpa melihat orang yang sedang berada didekatnya.
“… Aku ngerti kok !”
Erwin membalikkan pandangan matanya sambil tersenyum kecil untuk temannya. Sore itu di lapangan yang sepi, hanya mereka berdua. Teman asrama lainnya masih sibuk antri untuk mandi, beberapa orang bermain gitar dekat mess.
“Win… aku… mau nanya sesuatu… boleh ?”
“Mmm… boleh kok,”
“Kamu… ma Ria… udah baikan?”
“…,”
“Sorry… kalau pertanyaanku tadi nyinggung…,”
Erwin kembali tersenyum, “Tenang aja… aku… udah baikan kok,” Ia pergi dari tempat itu, sambil berkata pada temannya bahwa suatu saat ia akan mengatakan hal itu ke Ria. Cepat ia melangkahkan kakinya ke tempat asrama laki-laki, tempat yang paling dekat dengan ruangan kelas XII. Tak terasa sudah delapan bulan berlalu, ia sudah duduk dibangku kelas XII. Kini ia berada di kelas yang paling ketat persaingannya, kelas khusus XII IPA 1. Ria sendiri ada di kelas XII IPA 3, masih satu lajur dengan kelasnya.
Berbeda dengan keadaan saat masih kelas XI, Erwin lebih bisa mengerti apa yang guru jelaskan. Dia jadi lebih sering belajar, terutama bareng Rara, cewek yang pernah dia suka waktu kelas X. Tapi tetap saja Erwin yang lupa, ia sama sekali tidak mampu mengingat dengan baik masa lalunya. Di kelas yang baru, ia membentuk genk kecil, Riza, Arif dan Asrul, empat cowok yang disebut The Best Four Intelligence Student. Empat orang cowok pintar yang siap bersaing menunjukkan siapa yang lebih baik, tapi tetap saja yang namanya teman tidak ada yang perlu diperdebatkan.
Malam ini seperti biasanya, anak-anak asrama belajar dibimbing guru masing-masing. Kali ini Erwin kembali satu kelas dengan Ria, lain halnya dengan dulu, mereka berdua sudah melupakan kejadian masa lalu.
“Win… ?”
“Ada apa, Ra ?”
“Hari ini… kayaknya kamu beda deh,”
“… Ah… masa ? biasa aja kok !”
“Sumpah ! Kamu jadi lebih tenang… otak kamu… malah lebih encer,” puji Rara sambil berseri. Erwin tersenyum kecil atas pujiannya. Ia sejenak melirik kearah bangku Ria, cewek itu duduk dengan tenangnya. Erwin kembali tersenyum, ia membuka buku catatannya sambil membaca beberapa materi siang tadi.
Malam ini Pak Edy menjelaskan bab matriks, bab ke sepuluh dari lima belas bab yang harus kelas XII tuntaskan sebelum menempuh ujian nasional.
“Hei…,” sapa Ria.
“Ehemmm… !” balas Rara pelan.
Erwin tersenyum kecil sambil menyenggol kaki kanan Rara yang mulai meledeknya, ia meminta teman sebangkunya untuk tidak merespon apapun. Supaya ia bisa tenang, sambil menerima materi dari Pak Edy.
Malam ini pula, tepat besok ia akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Hari yang setiap tahun tidak pernah dia rayakan, yang baginya tidak terlalu penting. Tapi, kali ini kedua orang tuanya meminta untuk merayakan bersama teman-temannya. Sebenarnya ia tetap bersikeras untuk tidak melakukannya, sebab baru pertama kali ia merayakannya sejak terakhir berumur lima tahun ia pernah merayakan ulang tahun di Taman Kanak-Kanak, karena waktu itu ia masih kecil.
“Win…,”
“Nnggg… ada apa Ra ?”
“Besok… acaranya jadi ?”
“Mmm, insya Allah… ntar liat aja deh !”
Belajar malam sudah selesai, semuanya kembali ke asrama masing-masing. Erwin masih berdiri menunggu ketiga teman genknya yang masih belajar di ruangan kelas lain, ditemani Rara.
“Win… duluan !” kata Ria tiba-tiba.
“Eh… iya…,”
Erwin sedikit gugup, ia hanya membalas kembali dengan senyuman kecil. Rara yang berada disampingnya sudah lama memperhatikan sikap Erwin sejak di kelas tadi, tampak Erwin masih menyimpan rasa sukanya pada Ria.
Kelas kedua sudah selesai, ketiga temannya menghampiri keduanya, Arif, Riza dan Asrul. Ketiganya sudah sejak SMP berteman, meskipun tidak terlalu akrab.
“Wei… duaan aja nih !?” kata Asrul sedikit menyindir.
“Ngeledek nih… atau jangan-jangan…”
“Cemburu maksud lo !!” potong Riza.
“Hah… Asrul cemburu ma aku ? Bagus dong !?” lanjut Rara
“Udah malem, bercandanya dilanjutin besok aja…”
Arif akhirnya menjadi penutup, keempat siswa itu berjalan kembali ke asrama masing-masing. Sambil berjalan, acara bercanda terus dilanjutkan.
”Srul... lu cemburu ya tadi...?” ledek Riza.
“Maksud lo...?????!!!!”
Mata Asrul mulai melotot, sementara Rara sendiri tertawa kecil melihat tingkah teman-temannya yang seperti anak kecil.
*****
Sore ini Erwin sudah sangat rapih, sebuah acara kecil di rumahnya membuat suasana mulai ramai. Tak hanya teman satu kelas yang datang, Erwin mengundang semua temannya untuk menghandiri acara Pesta Ulang Tahun yang ke-17 buatnya. Sebagai anak pertama, kedua orang tuanya begitu memperhatikan kegiatannya. Erwin sebenarnya memeliki adik yang baru berumur lima tahun dan baru masuk di sekolah Taman Kanak-Kanak, namanya Fani.
“Selamat ulang tahun ya Win…,” semua teman-teman yang diundang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, Ria juga berada disana, ia tampil sangat cantik kali ini. Erwin tersenyum manis untuknya.
“Tiup lilinnya… tiup lilinnya…!!! Semua teman Erwin langsung memintanya untuk meniup lilin sambil mengucapkan permohonan di hari ulang tahnu ya ke-17 baginya. Erwin sejenak memejamkan mata sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya, perlahan ia mulai meniup lilinnya yang berangka ‘satu’.
“Untuk angka ‘tujuh’ ini… aku serahin ama Ria untuk meniupkannya untukku…,”
‘Ehem.. ehem…’ Ria sangat terkejut mendengar permintaan Erwin. Ia merasa bingung saat ini, hanya saja teman-teman yang lain memintanya untuk menerima permintaan Erwin.
Lilin angka tujuh pun akhirnya padam, semuanya memberikan tepuk tangan yang meriah, alunan musik pop mengiringi pesta ulang tahun kali ini. Erwin mengajak Ria untuk berbincang-bincang di luar, mereka berdua duduk tenag di teras sambil membawa kue dan minuman.
“Ri… makasih ya udah datang kesini,”
“Sama-sama Win… aku cuma kaget waktu kamu minta aku untuk bantú niupin lilin,” kata Ria cukup malu.
“Aku mau ngomong satu hal ama kamu…,”
“Apa…??” tanya Ria sambil menatap wajah Erwin yang cerah kali ini.
“Mengenai hal yang dulu pernah aku omongin… sebelumnya, aku mau minta maaf atas semua yang pernah aku lakuin ama kamu, pernah nyakitin hati kau dan membuatmu begitu kesal karena kehadiranku,”
“Nggak kok Win… aku yang salah sama kamu… aku yang seharusnya minta maaf,”
Erwin tersenyum kecil untuknya, “Ri… kalau aku sayang sama kamu… boleh kan…??”
Ria terdiam sejenak, ia bingung untuk membalasnya. Matanya terus menatap lantai,
“Ria… mungkin aku seharusnya nggak bilang hal ini lagi ama kamu, hanya saja… aku punya sebuah keinginan untuk membahagiakan hidup orang yang aku sayangi… mungkin orang itu adalah kamu,” kata Erwin sambil menatap langit biru sore ini.
“Kamu… serius Win…??”
“Aku… serius Ri…,” jawab Erwin sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka terus terdiam sambil mendengarkan alunan musik, Ria tersenyum untuknya.
“Ya…,”
Erwin kembali menatap langit dan sesaat memejamkan matanya, lalu bangkit dan berteriak, ‘Ya…!!!’. Ria hanya melihat tingkah Erwin yang begitu bahagia, hari ini menjadi awal bagi hubungan mereka berdua. Hari-hari selanjutnya akan mereka lalui bersama dan pesta ulang tahun kali ini melengkapi kebahagiaan yang Erwin rasakan. Ria sendiri merasakan kebahagiaan yang sama karena akhirnya bisa membalas perasaan yang selama ini dipendam oleh Erwin.
*****
“De… kamu suka nggak ama dianya…?” tanya Erwin.
“Mmm… Fani sebenarnya suka kak, cuma… Fani masih belum yakin ama perasaan yang sekarang Fani rasa.”
“Katakan ‘ya’ kalau kamu sudah yakin… kakak pikir mungkin dia anak yang baik,”
“Nggak baik juga sih kak, pinter banget anaknya…,”
Erwin tersenyum untuk adiknya. Fani langsung masuk kedalam, sementara Erwin kembali merapihkan catatannya, dan juga buku diarynya yang berisi catatan perjalanan masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar